Rabu, 02 Maret 2016

Memahami Tere Liye

Source: koran.tempo.co

Seblunder-blundernya pemain bola yang melakukan gol bunuh diri, masih lebih blunder Mas Tere Liye yang menuliskan status distorsi sejarah dengan menyangsikan peran para komunis-liberal-sosialis-aktivis dalam memperjuangkan kemerdekaan. Hari Selasa saya yang begitu melelahkan dengan rutinitas keurbanan tiba-tiba mak pyaarrr. Ha piye, mbukak fesbuk langsung disuguhi status Mas Tere, kan yo langsung cekakaan ra karuan. Ndagelnya bagus, Mas.

Tidak perlu diduga, ya sudah pasti banyak yang menghujat, mekok-mekokne, ngajak ngopi, nyodorin link atau buku, dan (tentu) menertawakan. Ada juga barisan fans yang tetap mengelus-ngelus pipi Mas Tere, baik secara gerilya maupun komen langsung. Dan tentu ada para penengah di tengah keriuhan: menyodorkan fakta sejarah dengan ajakan ngopi, melarang menghujat dengan sarkas ataupun jelas, ya pokoknya mengademkan.

Entah apa motivasi Mas Tere menulis status begituan. Walaupun saya ndak pernah baca novel-novelnya, saya ndak pernah mengira bahwa bliyo akan menyerupai kakanda Jonru. Lahan bliyo ya sebagai novelis, ngisi seminar kepenulisan, bikin status motivasi, bikin kata-kata romantis, dan promo novel-novelnya. Sejauh itu saya menghargai kapasitasnya, asal jangan mendaku sebagai sastrawan. Saya kira tidak masalah jika melihat teman samping saya sedang membaca novel Tere, toh nggak menjerumuskan. Setidaknya teman saya hanya akan termehek-mehek, galau, mengumpat, atau merasa termotivasi. Beneran ndak masalah, saya aja dulu juga termotivasi sama Laskar Pelangi-nya Bang Andrea Hirata. Jadi saya kira, lebih baik teman saya baca novel bliyo daripada ngeshare dan mengaminkan status kanda Jonru. Saya (pernah) yakin, Mas Tere ndak akan men-Jonru, cukuplah di lahannya yang setiap hari teduh dan adem ayem tanpa kemrungsung.

Yah, memang, dalam hal ini Mas Tere nggak kembar dempet sama Jonru—sepertinya Jonru memang the only one. Tapi, hampir mirip. Jonru hobi blokir akun fesbuk yang 'mengotori' statusnya, Tere menurut beberapa korban blokir juga iya. Jonru menghapus postingan ngawurnya, tanpa meminta maaf. Mas Tere memang lebih sopan, tidak dihapus, tapi di-hide dari timeline, view-nya masih "public". Bliyo meminta maaf. Memang. Tapi setelah statusnya viral. Sebelumnya dia abai dan masa bodo, malah apdet status lebih dari sepuluh kali. Mulai dari note "Paham" yang sepertinya merupakan latar belakang status viral tadi. Di note itu, intinya yah begitulah, baca sendiri. Lalu rentetan selanjutnya adalah promosi novel Rindu, kata-kata motivasi dan cinta-cintaan, dan status lama yang di-reupload tentang rokok. Kok sampe dia reupload status tentang rokok itu sepertinya karena belum baca tulisan di Mojok yang diperuntukkan pada Mas Tere. Sia-sia mas Iqbal Aji mengkritisinya, toh Tere malah ngunggah status itu lagi.

Mas Tere mengklarifikasi, tapi tanpa mengakui kesalahan. Menurut saya, tulisan itu gak kalah absurd dengan sebelumnya. Bliyo tetap menegasikan peran ulama dengan komunis-liberal-sosialis-aktivis. Tidak paham logika kalimatnya sendiri, kalau mengakui ada, lalu ngapain nyuruh nyari. Opo maneh menuduh orang-orang telah menafikkan peran ulama. Ayolah, Mas, orang-orang yang memuja Soekarno, Tan Malaka, dll. itu juga mengagungkan Gus Dur, Ahmad Dahlan, dll. Pejuang dulu bersusah payah menyatukan tujuan kemerdekaan dengan tanpa mempedulikan latar belakang ideologi dan agama. Tujuannya sama, itu intinya. Terserahlah pejuang itu mau kekiri-kirian, nganan, kiri-kanan, Islam, Kristen, atau apa saja. Mereka dipersatukan sebagai manusia, sebagai warga negara. Eh, lha Mas Tere dengan sekali klik malah mengkotak-kotakkan ideologi dan paham lagi. Hah, sepertinya Tan Malaka dan Gus Dur sedang ngopi sambil cekikikan di sana.

Hmm, Mas Tere sebagai idola bagi yang mengidolakan seharusnya lebih hati-hati. Atau, mungkin Mas Darwis hanya sedang bertaqqiyah saja ya? Oh ya,  jangan menghujat terlalu tajam, belum tentu didengar. Maklumi.
Mas Darwis adalah korban. Sekalipun bliyo adalah penulis best seller dengan fans bejibun. Banyak orang yang masih sepemikiran seperti bliyo adalah korban dogma orde baru. Kedunguan memang berbahaya, makanya salah satu tujuan di pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.


Setidaknya ada tiga pesan moral dari kejadian ini. Pertama, Tere Liye itu laki-laki. Kedua, jangan meninggalkan media sosial, karena Anda tidak tahu seberapa besar efek kejut dan hiburan yang ditawarkan ketika dunia nyata melelahkan. Ketiga, nyari duit itu susah, Nak.

Sebenarnya saya mau ngajak Mas Tere ke perpus, ke toko buku, atau berdiskusi bareng kawan-kawan. Tapi nyali jadi ciut. Tertulis, "Contact khusus untuk request bedah buku/event/acara: 089698932620 (sms only)". Hayoloh, mbayar berarti.

Btw, "contact", "request", "sms", dan "only" itu kearifan bangsa sendiri bukan sih?

0 komentar:

Posting Komentar