Senin, 10 April 2017

Mengeja Raden Mandasia

twitter Penerbit Banana



Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi adalah salah satu hal terbaik di kehidupan saya yang 2017 ini lebih sering biasa saja tanpa yang hal-hal yang mengagumkan. Paman Yusi, paman kita semua, paman semesta raya, mendongeng dengan anjing sekali indahnya. Kamu harus menelan kepercayaan bahwa dongeng adalah nama lain pengantar tidur. Telan dengan baik, jangan sampai mati sia-sia hanya karena tersedak, tidak aduhai. Beberapa hari yang lalu saya lupa cara memejamkan mata sehingga hamba yang sholeha ini tidak bisa shalat tahajud karena keasyikan membaca dongengan Paman Yusi. Ketika sampai halaman terakhir, saya baru tersadar kalau sudah jam tiga pagi dan rendaman cucian sejak pagi sebelumnya belum saya bilas pagi ini. Oh, betapa!

Jika idola remaja masa kini, Mz Sabda Armandio, menuliskan bahwa kemungkinan besar penyebab banyak pengarang masuk neraka adalah akibat mengecewakan pembaca dengan menyajikan akhir cerita yang buruk; memaksa terus bercerita saat tiba di titik terbaik untuk menamatkannya, dan lebih buruk lagi dibuatkan sekuel meski tahu kerangka logika di cerita sebelumnya tak didesain  buat menampung cerita lanjutan, saya ingin menambahkan ‘membuat pembaca lupa mencuci baju dan beribadah’ ke daftar dosa pengarang tersebut. Tapi tak apa, Paman, lagipula surga isinya yang indah-indah, yang baik-baik, yang damai-damai, tidak ada yang bisa dituliskan.

Judulnya memang Raden Mandasia, tapi tidak perlu terlalu berharap si Raden Mandasia bakal menjadi tokoh utama dan pusat cerita. Porsi Raden Mandasia bahkan tidak lebih banyak daripada si pencerita, Sungu Lembu. Tapi tentunya dongeng tak akan berkisah sehebat ini tanpa Raden Mandasia sekonyong-konyong hadir di kehidupan Sungu Lembu. Judulnya memang ada sapi, tapi kamu bakal lebih sering disuguhkan anjing dan babi─di pembacaan yang kedua atau ketiga nanti saya berencana fokus menghitung berapa kata ‘anjing’ di novel ini. Tapi tanpa mencuri daging sapi, Sungu Lembu entah kapan bakal bertemu Watugunung dan Babad Tanah Jawa tidak dituliskan. Haha.

Di sampul Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi terukir kata ‘dongeng’ karena buku ini lebih tepatnya adalah rangkaian dongeng dunia yang berkumpul jadi satu. Kamu bakal berjumpa dengan Putri Tabassum yang kecantikannya membuat cermin-cermin retak dan pecah karena tidak kuasa menampung kecantikan itu. Ingatanmu akan mengais kisah seorang nabi yang ditelan paus ketika dua orang penumpang kapal secara bergantian jatuh ke laut untuk kemudian ditelan paus. Kamu juga akan berjumpa dengan kisah Sangkuriang yang digetok kepalanya memakai centong nasi, dan kisah-kisah lain yang diciptakan sendiri oleh Paman Yusi atau yang lain yang belum kita dengar.

Dongeng ini tidak menuntutmu harus menemukan amanat atau pesan moral, saya pikir Paman Yusi bukanlah guru Bahasa Indonesia atau pendakwah ataupun Opahnya Upin Ipin yang setiap kau habis membaca sebuah kisah akan menanyakan “Jadi, apa amanat yang ingin disampaikan?”. Lalu kamu berpikir keras dan memungut apapun di kisah untuk memaksakan amanat yang terkandung. Kita tahu itu sungguh menyakitkan. Tenang saja, Paman Yusi justru mengajakmu bersenang-senang dan menikmati tiap adegan persetubuhan, titik kelezatan makanan, dan mantapnya umpatan-umpatan tokoh.

Mungkin Paman Yusi bukanlah tipe guru Bahasa Indonesia yang rajin sekali obral pesan moral, tapi bliyo dengan dongengnya ini membuat saya ingin banting setir jadi penjual tahu-bulat-digoreng-engga-dadakan-karena-biar-ndak-kaget-tahunya saja daripada tetap menjadi mahasiswa jurusan Sastra Indonesia. Lha gimana tidak, ada banyak kata yang harus saya cari dulu di KBBI karena tidak tahu artinya. Misal saja merancap, cindai, mandah, mengkal dan sebagainya. Belum lagi tata krama dalam penyusunan kalimat yang rapi memenuhi dongeng ini. Anjing betul, saya merasa dipermalukan.

Dengan tidak menggurui, bukan berarti Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi nirfaedah. Ada lautan pesan yang bisa kita ambil untuk direnungkan atau setidaknya membuatmu meninju kepalamu sendiri sambil berkata, “Anjing, iya juga ya?” ketika mendapati bahwa kita sebenarnya tidak saling mengenal atau bahwa kesempurnaan justru membuat kita berhenti mencari atau yang paling penting adalah bahwa semua manusia pasti buang air besar. Tapi, sekali lagi, kau tidak akan merasa dihakimi seperti ketika kamu membaca… ah kau tahulah.

Siapapun yang membaca dongeng ini pasti merasa bahagia sekaligus sebal. Jika banyak karya melulu mengusung narasi-narasi besar─yang sumpah mati membosankan itu─karena (mungkin) ingin terkesan hebat, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi tidak begitu. Kau memang akan diseret pada bagian membosankan ketika perang antara Gerbang Agung dan Gilingwesi yang seperti Mahabharata, tapi serius, peristiwa itu seperti figuran saja di sini. Penggalan-penggalan kisah yang lain lebih mengasyikkan, lebih dalam dibahas dan mendominasi dongeng ini. Misal tentang hidup Loki Tua, tentang petualangan di lautan, Kasim U, Nyai Manggis, dan lain-lain, dan lain-lain. Saya kira di situlah salah satu kelebihannya. Jika Lelaki Harimau ­membuka dengan kalimat pertama bahwa Margio telah membunuh Anwar Sadat lalu setelahnya adalah penelusuran motif pembunuhan dan bangsatnya kita baru akan tahu motifnya di akhir cerita, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi menceritakan panjang lebar tentang latar belakang dendam Sungu Lembu  hingga berkeinginan membunuh Watugunung sampai kamu ikut geregetan kapan adegan perkelahian berujung kematian Watugunung akan diceritakan dengan dahsyat, rasa geregetanmu akan berbuah sebal dengan kematian Watugunung yang hanya dituliskan dalam satu kalimat. Mengesankan.

Jika kau membaca novel-novel Eka Kurniawan, kau pasti akrab dengan cerita kolosal mengusung kearifan lokal yang dikemas dengan apik, dan Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi merupakan dongeng kontemporer berlatar kolosal  yang saya pikir hampir sejenis. Luhur. Kisah semacam ini tidak banyak dilahirkan pada era sekarang dan rentan diabaikan, tapi pembawaan kisah yang baik saya jamin tidak membuatmu bosan berlama-lama menekuninya. Masih banyak yang menarik, tidak akan menarik jika saya ceritakan semua, jadi baca sendiri saja. Saya sudah cukup menyesal karena baru membacanya akhir-akhir ini setelah ada cetakan kedua, jadi sebaiknya kamu menemani saya.

Selepas menutup sampul belakang, kamu akan tahu betapa kenikmatan surgawi telah dititipkan Tuhan ke buku ini.

Tabik untuk Paman Yusi Avianto Pareanom, saya jadi penasaran dengan rasa daging babi. Teman-teman tolong jebak saya makan daging babi dengan mengatakan bahwa itu daging sapi halal ketika menawarkannya. Nanti saya tak pura-pura tidak tahu. Ayolaaa~


Senin, 27 Maret 2017

Semacam Obrolan yang Melelahkan



“Bang…”

“Ya?”

“Besok hari Kamis.”

“Memang.”

“Hmm. Lusa Jumat.”

“Kamu kenapa?”

“Bunganya bagus.”

“Mana?”

“Turun mana, Bang?”

“Kita tidak sedang di bis atau kereta.”

“Iya. Jadi, apakah harimu menyenangkan?”

“Biasa.”

“Bosan?”

“Lumayan.”

“Mari bercerita.”

“Kemarin saya pergi menonton konser sendirian. Di kerumunan penonton, seorang perempuan tiba-tiba mendesak dari belakang lalu berdiri di sebelah saya..”

“Sebelah mana?”

“Samping kanan. Saya pengen kenalan, tapi tidak tahu harus bagaimana. Tiap kali yang begitu terjadi, saya merasa patah hati.”

“Lalu apa gunanya puisi-puisimu? Kamu bilang kamu juga humoris.”

“Itu beda soal. Saya yakin saya orang yang cukup menyenangkan dalam berteman, tapi awal perkenalan itu lebih berat. Takut dikira aneh.”

“Kamu kan memang aneh.”

“Iya. Menjadi aneh memang lebih mudah daripada dianggap aneh.”

“Bilang saja begini, “Langitnya mendung. Sepertinya perlu sedia payung. Menurutmu gimana?” atau, “Mbak, satu tambah satu kira-kira berapa?”. Semacam itu.”

“Kebetulan tidak sedang mendung, Mbaknya bakal sedih, kasihan. Saya berpikir untuk bilang, “Maaf, Mbak, saya punya firasat kita bakal ketemu lagi di lain waktu. Boleh saya tahu nama Mbak atau apalah agar lebih mudah menyapa nanti.”

“Itu bagus.”

“Oh, ya? Tapi dia sudah menyelinap ke barisan depan. Lagi-lagi saya kehilangan sesuatu yang bahkan tidak saya miliki.”

“You’re Beautiful. James Blunt.”

“Iya. Betapa sia-sianya lirik lagu itu. You’re beautiful… And I don’t know what to do… ‘Cause I’ll never be with you.”

“Tidak sia-sia juga. Indah dan pedih sekaligus kan bagus.”

“Nutrisarimu mulai dingin.”

“Mana enak kalau hangat?”

“Memang.”

“Hari ini saya sedang bahagia.”

“Siapa?”

“Saya. Rasanya seperti bersin yang melegakan setelah dua puluh tahun gagal bersin. Memaafkan! Saya habis memaafkan seseorang yang beberapa minggu lalu ingin saya penggal kepalanya dengan cutter duaribuan…”

“Tigaribulimaratus di tempatku.”

“Baiklah.”

“Kenapa tidak jadi kamu penggal?”

“Kenapa Qais sampai majnun karena Laila?”

“Cinta. Saya kurang yakin kalau dengan kasusmu.”

“Semacam itu, saya sendiri juga ragu, tapi sepertinya iya, saya sayang dia. Rasanya seperti balikan sama mantan kekasih yang sangat kita rindukan tapi kita gengsi mau nyapa duluan karena terlanjur bilang benci.”

“Jadi, bersin atau balikan?”

“Haha. Terlalu bahagia, suka lupa. Seperti membuang sampah yang dibawa kemana-mana.”

“Segala yang berlebihan itu tidak baik.”

“Sudah betul itu.”

“Hujan sudah turun, ayo pulang.”

“Katanya kita bakal pulang setelah menunggu hujan?”

“Menunggu hujan turun.”

“Saya kira menunggu reda.”

“Jadi pulang tidak?”

“Kopimu belum habis. Kembung?”

“Angin masuk.”

“Mengerti. Angin dan air. Saya bertaruh untuk tanah.”

“Terserah, kamu perlu belajar lagi. Pacar saya menunggu.”




*Maaf untuk yang ucapan-ucapannya saya ambil hehehe


Rabu, 16 November 2016

Intan dan Anehnya Kemanusiaan Kita




 
Lukisan oleh Toni Malakian


 Inilah sebetulnya salah satu bentuk penistaan agama yang paling keji siapapun pelaku dan korbannya. Baru petang ini aku menggambar salah seorang anak korban meninggal karena kebiadaban itu. Agama memanusiakan manusia dan makhluk lain. (Toni Malakian)


Seperti biasa, perpustakaan kampus masih akan tutup pada pukul sepuluh malam. Malam ini, sejak ba’da maghrib, saya masih di sini, seharusnya mengerjakan tugas, mencari data, atau membaca buku. Tiga puluh menit pertama saya habiskan untuk memandang orang-orang dan mendengarkan kebisingan. Iya, jam-jam segini memang perpustakaan tidak akan sunyi. Mirip angkringan tempat biasa ngopi, tapi tidak ada kopi. Tidak perlu sampai memecahkan gelas biar ramai. Semua bersahut-sahutan, banyak kata yang tergelincir dari berpuluh-puluh lidah sampai saya tidak berhasil menangkap satu pun kalimat utuh. 

Seorang lelaki berkacamata duduk di meja seberang saya, senyum-ketawa sendiri sambil menatap layar laptop. Mungkin menertawakan video lucu, tulisan lucu, atau semacamnya. Nampak berbahagia, dengan headset di kedua telinga. Samping kiri saya adalah meja dengan banyak orang mengelilinginya. Mungkin belajar kelompok. Di arah jam dua, sepuluh mahasiswi duduk mengelilingi meja dengan lima botol air mineral dan kertas-kertas di atasnya. Dua orang belajar, dua sibuk dengan gawai, sisanya sedang mengobrol dengan riang sekali. Banyak kelompok jenis seperti mereka juga, saya taksir ada 70% di ruangan ini. Sedangkan yang sekarang sedang semeja dengan saya adalah seorang perempuan berkerudung hijau tosca dengan baju batik, saya tidak kenal, dia memilih duduk di sini karena memang tidak ada pilihan lain. Sesekali melirik saya, raut wajahnya serius, mungkin ada deadline besok pagi dan pandangan jelalatan saya agak mengganggunya.

Di Samarinda, Minggu (12/11/2016) pagi, seorang yang disebut sebagai ‘jihadis’ melemparkan bom molotov ke arah gereja sekenanya. Seorang gadis kecil meninggal beberapa hari yang lalu. Intan Olivia. Empat terluka, hingga Intan tak mampu lagi bertahan. Terbakar, sampai-sampai bajunya lengket dengan kulit. Intan pergi ke surga di usia yang sedang lucu-lucunya. Dunia sepeninggalnya masihlah dunia yang berisik dan mengerikan. Tentu masih ada yang membantu dan berduka. Tapi sayangnya juga tetap ada beberapa yang menuduh sebagai pengalihan isu atas dugaan penistaan agama oleh seorang gubernur di ibukota. Beberapa lainnya juga menganggap ini adalah sebuah konspirasi. Ya, banyak korban dan keluarga yang ditingggalkan, seorang bocah meninggal, dan yang lebih menyedihkan adalah: ada orang-orang yang tidak tersentuh relung kemanusiaannya kemudian justru mengganggap ini sebatas atraksi politis belaka. Saya belum menemukan kata ganti, bahkan asu dan bangsat pun masih terlalu mulia untuk disandangkan di atas nama mereka. 

Orang yang menyebut peristiwa pengeboman sebagai pengalihan isu dan konspirasi itu mengulang-ulang perkataan yang sama. Mempertanyakan kemana kepedulian kita ketika tragedi di Gaza, Beirut, Suriah, dll. Mengatakan lagi bahwa teroris tidak memiliki agama. Saya justru membaca pembelaan pertama sebagai upaya untuk membalik quote Mbah Stalin yang berbunyi, "a single death is a tragedy, a million deaths is a statistic”. Atau sebenarnya hanya ingin mengatakan bahwa kepedulian harusnya dibatasi agama dan kepentingan politik. Pembelaan yang kedua adalah ketidakberanian menemui diri sendiri. Kenyataannya, teroris memang memiliki agama. Dan bisa jadi teroris kebetulan mereka memiliki agama yang sama dengan saya, kamu, kalian. 

Penafsiran yang picik akan sebuah tragedi kemanusiaan akhirnya membuat orang-orang itu tak lagi adil sejak dalam pikiran. Lebih rumit lagi ketika ada satu, dua, atau beberapa orang di sekitar saya yang mendukung orang-orang itu. Saya selalu kesulitan dan sempat putus asa menjelaskan. Ada perasaan yang mengganggu. Dia guru saya, dia teman SMA saya, dia teman kuliah saya, dia kenalan saya. Pemikiran yang sama sekali bertentangan, lantas bertabrakan, tapi tidak kunjung berani berkelahi sekalian karena takut mengorbankan hubungan. Saya tidak ingin suatu hari hanya akan menyebut mereka sebagai mantan guru atau mantan teman.


Akhirnya kematian manusia memiliki berbagai sudut, mulai dari kematian sebagai tragedi, kematian sebagai statistik, dan kematian sebatas bagian dari atraksi politik. Lain kali mungkin kemanusiaan yang bakal menghadapi kematian.


Dan saya kembali memandang orang-orang di perpustakaan tadi. Gaduh dan sibuk sendiri. Menengok teman-teman di kantin tadi siang, pemilu di lingkungan fakultas, berisiknya grup angkatan, teman-teman yang sibuk dengan kepanitiaan hendak mengadakan suatu event, mahasiswa yang disiplin sekali dalam akademik, mereka yang bergegas, penumpang bus antar kota yang kelelahan, lalu orang-orang dalam perjalanan ke tempat kerja. Apa mereka tahu tentang Intan? Apa mereka peduli?

Saya jadi teringat film Room yang kemarin saya tonton. Mengenai cara tokoh Jack memandang dunia. Jack baru berusia lima tahun, belum pernah melihat dunia sebelumnya, empat tahun hidupnya dihabiskan di satu ruangan tempat dia dan ibunya disekap oleh penculik. Jack percaya bahwa dunianya memang sebatas empat dinding yang pengap itu dengan segala imajinasi dan dongeng yang ia yakini benar. Daun, pohon, orang-orang, mobil, hanyalah hasil sihir di televisi. Singkat cerita dia dan ibunya akhirnya bebas. Dan Jack sesekali bermonolog…

“Sudah 37 jam aku berada di dunia. Aku telah melihat panekuk dan tangga. Dan burung, dan jendela, dan ratusan mobil. Dan awan, dan polisi, dan dokter. Dan kakek, dan nenek. Aku telah melihat orang-orang dengan wajah, ukuran, dan bau berbeda… saling bicara. Dunia seperti planet TV pada saat bersamaan, jadi aku tak tahu harus melihat dan  mendengar ke mana.”

“Ada begitu banyak tempat di dunia. Tapi hanya ada sedikit waktu, karena waktu harus menyebar, ke semua tempat, seperti mentega.“

Dunia jadi terasa penuh sekaligus kosong secara bersamaan. Banyak orang berbicara dan bergegas. Mobilitas tinggi yang berimbas pada keintiman perasaan yang merendah. Saling bertemu karena memang ada kepentingan. Merencanakan sesuatu, mengejar waktu agar tidak terlambat, mengerjakan tugas, mengadakan event, membayar tagihan, dan menggadaikan hidup pada jadwal-jadwal. Pemaknaan, penghayatan, dan rasa sentimentil lebih layak ditertawakan. Dunia seperti sedang berusaha keras membuat manusia menolak kenyataan bahwa perasaan dan kemanusiaan adalah bagian tak terpisahkan dari dirinya. Segalanya hanyalah rutinitas. Makan, tidur, bekerja, tertawa, kuliah, dan beribadah. Kelahiran adalah rutinitas, perayaan hanyalah formalitas. Termasuk kematian, kematian sepertinya juga dianggap sebagai rutinitas belaka. 

Betapa anehnya kemanusiaan kita. Mungkin karena memang dunia seperti banyak televisi yang menyala secara bersamaan dengan tayangan yang berbeda-beda, sehingga kita tak tahu harus melihat dan mendengar ke mana. Kemanusiaan dan kepedulian akhirnya tak tahu harus ditempatkan di mana. Sampai kita lupa bahwa dalam kematian paling sepi dan sendiri pun, tetap selalu ada gagasan tentang rasa kehilangan yang menyeruak. Dalam kehidupan yang plural, berjalan cepat, tergesa, kontras, dan penuh dengan seliweran informasi memang agak sulit meluangkan tempat untuk perenungan. Kematian, pembunuhan mungkin baru terasa menyayat ketika menimpa orang terdekat. Benar kata Mbah Pram:

"Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana."

Dunia nampaknya bakal begini-begini saja, Intan. Berbahagialah di surga, semoga tidak ada orang tidak waras yang melemparkan bom kepadamu. Bermainlah, pasti di sana ada jungkat-jungkit dan banyak ayunan. Biar Tuhan memelukmu dengan kasih sayang sepenuhnya. Titip salam untuk Tuhan, katakan padanya, maafkan kami, maafkan kami. 



Senin, 24 Oktober 2016

Rekno dan Kalimat yang Belum Usai: Sebuah Telaah Tidak Penting



Setiap manusia itu unik, tentu saja. Kebetulan saya hidup di antara manusia-manusia, lalu berkawan dengan beberapa dari mereka. Ada yang namanya Rekno, salah satu dari sedikit orang yang beruntung telah saya ingat namanya. Kenal karena memang satu jurusan di kampus, seangkatan. Tapi saya baru agak benar-benar berteman pada awal semester tiga, tidak terlalu ingat mengapa dan kapan bermulanya. Mungkin ketika saya meminjam novel Saman miliknya. Tapi sepertinya tidak, karena saya hanya meminjam, mengembalikan, bilang terima kasih, dan sudah. Tidak ada hal yang membuat saya terikat secara emosional atau merasa berutang budi. Biasa saja, tidak mengesankan. Atau, mungkin ketika dia mulai sering komen di postingan beberapa media sosial saya dengan sok asik, padahal saya tidak merasa akrab dengannya. Waktu itu diri ini sedang pada fase ‘fuck-everyone-and-everything’, sedang angkuh-angkuhnya. Mungkin iya, bisa tidak, kurang bisa memastikan. Kemungkinan terbesar karena kami pernah merasa punya musuh yang sama di situasi menegangkan yang kami bikin bersama. Yah, semacam sok-sokan menjadi Edward Snowden, kami dan kawan lain mencoba menelanjangi superioritas senior di hadapan publik. Halah, tidak usah menganggapnya heroik atau progresif, biasa saja, namanya juga dinamika kehidupan mahasiswa. Ya begitulah, biar tidak mampus dilahap kebosanan rutinitas, kadang meletup-letup dikit tak apalah~

Kesan pertama yang saya patrikan di otak adalah: Rekno itu freak. Bagaimana tidak? Dia suka senyum-senyum aneh, cara matanya melihat orang juga penuh selidik yang menggelikan, sok imut, dan yang paling khas: baperan. Kau tahu baper kan? Bahasa anak muda kekinian, akronim dari bawa perasaan. Bahasa normalnya satu spesies dengan sensitif tapi bukan sensitif, cengeng tapi bukan cengeng. Konsep baper ini lebih enak didefinisikan sebagai suatu sikap (berlebihan) mengedepankan unsur perasaan sebagai respon atas tindakan yang seharusnya tidak perlu dirasai sebegitunya. Misalnya kamu menangis lalu mengadu pada semesta hanya karena follower instagram berkurang satu dan menganggap mantan followermu itu membencimu. Kamu paham? Saya sih tidak. 

Si Rekno ini semacam manusia yang belum selesai dicetak lalu tiba-tiba tergelincir konyol ke dunia ketika proses pembagian kewarasan. Jadi ya gini, agak-agak. Dia mungkin saja mengatakan sesuatu atau menuliskannya dengan selayaknya manusia lain. 

“Aku lapar.”

“Budaya lokal harus dilestarikan.”

“Puisi itu bagus.”

“Kamu sudah makan?”

“Buku-buku sastra klasik memang terlalu berat untuk dikaji oleh mahasiswa semester awal macam saya.”

“Teman-teman harusnya mengerti…”
dll. 

Nah, jangan pernah mengira kalimat-kalimat normalnya itu selesai. Jangan percaya dengan ‘titik’ darinya, dia punya banyak sekali ‘koma’ yang disimpan di lemari bawah kasurnya. Beberapa waktu mengenalnya, saya mulai memahami selera humor dan arah tiap katanya. Selalu ada yang belum tuntas, selalu ada yang ditertawakannya sendiri. Bisa saja begini kalimat lengkap sebenarnya:

“Aku lapar, lapar dan haus kasih sayang.”

“Budaya lokal harus dilestarikan, seperti cintamu padaku yang harus kukasih formalin supaya abadi selamanya. Eaaa..”

“Puisi itu bagus… Ah, jadi ingat Mz Bagus yang ituh.

“Kamu sudah makan? Aku belum makan lho, ngga ada yang ngingetin makan, ngga ada yang ngajak makan berdua. Syedih.”

“Buku-buku sastra klasik memang terlalu berat untuk dikaji oleh mahasiswa semester awal macam saya. Karena menengok masa lalu memanglah sangat berat, aku tidak kuat, apalagi harus mengkajinya. Kutakbisa, Mz.”

“Teman-teman harusnya mengerti, karena aku wanita ingin dimengerti. Uwuwuw~
dll.

Yeah, begitulah. Lucu dan menyebalkan sekaligus. Saya agak mulai ketularan juga sih. Memang enak dan asyik mengaitkan tiap hal dengan perasaan yang ditertawakan. Karena menjadi terlalu serius juga tidak menyenangkan-menyenangkan amat. Terlalu seriyus seringkali membuat kita lupa bahwa keseriyusan kita itu sangat lucu kalau ditelaah lagi. Bukan berarti cinta melulu, Rekno bahkan belum pernah pacaran, dan pernah jatuh cinta tapi dikecewakan sebelum sempat berteman. Wkwkwk, tragis betol.

Pernah suatu waktu dia iseng ikut seleksi projek sosial mengajar yang mirip Indonesia Mengajar tapi level kecamatan. Bukan apa-apa, Rekno hanya bosan dengan rutinitas dan gebetan yang itu-itu saja. Ndilalah, dia kok ya lolos seleksi tahap pertama yang kemudian dilanjut dengan seleksi wawancara. Dia menjawab tiap pertanyaan dengan sepenuh ketidaklengkapan-kalimat. Rekno tidak berbohong, dia hanya sedang menyampaikan (sebagian) kebenaran yang ingin mereka dengar, dan menyimpan sebagian yang lain. Gitu~

“Motivasi saya mengikuti program ini adalah untuk menyalurkan sedikit ilmu yang saya miliki, menambah relasi, dan mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat. (Dan mencari gebetan. Dan kabur dari rapat-rapat. Dan biar dibonceng.)”

“Memang saya kurang menguasai pelajaran eksakta, tapi saya bisa mengajar tentang Bahasa Indonesia, saya bisa baca puisi, monolog, dan menari. Anak-anak kecil tentu bosan kalau hanya diajari eksak. (Wuh, apalagi puisi cinta, aku bisa. Aku juga bisa membuat  masnyah jatuh cinta, jangan ragukan.)”

Tentu masih banyak lagi, tapi saya sudah bosan menuliskannya, kamu mosok ngga bosan sih bacanya? Pokoknya dia gitu lah ya. Mari bahas yang lain. 

Oh ya, saya benar-benar tidak menyarankan dia mengambil peminatan Filologi atau pindah program studi ke Ilmu Perpustakaan dan Kearsipan. Selain karena memang dia tidak mau mengambilnya, tapi juga karena saya lihat-lihat dia bukan perawat kenangan yang baik. Jadi, jangankan mengkaji naskah lama, menyadari tingkah konyolnya ketika berjumpa dengan cinta-matinya-yang-dia-puja saja dia kurang lihai. Apalagi jurusan Kearsipan. Jangan. Lha wong mengarsipkan chat Line saja dia ogah, dia sering end chat seenaknya. Rekno juga sebaiknya punya pacar yang sabar maqam tertinggi. Karena Rekno tidak bisa diburu-burui. Dia tipikal seniman yang terlalu menghayati apa yang dilakukan, entah terlalu sentimentil dan melankolis atau gimana, saya kurang ngeh. Makan, jalan, mandi, dll. pastilah lama. Menunggu Rekno selesai makan, kamu sebenarnya sudah bisa pulang kampung berkali-kali dan bisa menyelamatkan dunia.

Udah ah, lelah. Saya kasih tahu ya, walaupun kamu tidak harus tahu, tapi gapapa, saya cuma mau ngasih tahu: Pertemanan saya dengan Rekno berjalan menyenangkan dan baik-baik saja sampai pada suatu ketika kami saling tahu bahwa selera mie instan kami berbeda. Saya percaya Sarimi adalah mie instan terenak. Rekno bilang mie Sedaap Baso jauh lebih nikmat dibanding segala macam mie di dunia. Ini perbedaan yang sangat gawat. Menyangkut idealisme! Perseteruan bertambah sengit ketika kami saling tahu bahwa selera kami mengenai lelaki dan gebetan ilusi juga sama. Tidak bisa tidak, hanya satu kata, “Lawan!”. 

Dia bukan teman saya sekarang, mungkin musuh, mungkin juga sahabat.

Jika bertemu dengannya, sapalah lebih dulu. Dia sama sekali tidak pendiam. Palsu itu kalau dia pemalu dan pendiam. Dia lebih sering malu-maluin dan susah disuruh diam. Dia hanya kesulitan merangkai kalimat pertama dengan orang yang baru dikenalnya. Yah, kecuali kamu cakep dan menarique, dia bakal menerjang badai dan rintangan demi mengenalmu. Hahaha.

Tidak penting kan tulisan ini? Memang. Sudah saya ingatkan di bagian judul. Salah sendiri dilanjutkan. Hanya semacam dokumentasi. Tidak ada pesan moral. Tidak quote. Aku sayang kamu.
.