Jumat, 03 Juni 2016

Yang Ingin Saya Sampaikan kepada Teman-teman

sumber gambar: ingrid.zcubes.com
Satu-satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri.

Belakangan ini saya sering geleng-geleng dan berdecak-decak sendiri ketika berselancar di media sosial, lebih tepatnya di akun kawan-kawan seperjuangan dulu. Beberapa gelengan karena kagum, lebih banyak lagi dikarenakan terheran-heran. Beberapa decakan karena memuji, sisanya adalah kekhawatiran.


Tindakan tersebut adalah reflek yang saya lakukan ketika mendapati foto, informasi, maupun status kalian yang hampir semuanya menunjukkan bahwa kalian telah berubah. Tentu, tentu saja tidak sedikit yang berubah ke arah yang lebih positif. Saya ndak nggumun dengan itu, karena memang setiap manusia itu unik dengan kecerdasan dan keahliannya masing-masing. Dulu pun saya sudah melihat bibit-bibit unggul pada diri kalian. Saya melihat seorang akuntan dan menteri keuangan pada diri teman yang sering menjadi bendahara kelas. Saya melihat orator ulung pada diri teman yang selalu menjadi ketua. Saya melihat W.S. Rendra pada diri kawan yang pandai main teater dan berpuisi. Saya melihat masa muda Buya Hamka pada diri kawan yang tak pernah lelah berdakwah dengan cara yang tak terduga. Saya melihat banyak tokoh, banyak sekali. Saat itu juga saya merasa optimis dengan Indonesia, karena ada kalian. 

Tapi, Kawan, beberapa dari kalian tidak sedikit pula yang perubahannya mengarah ke arah lain, bukan murni negatif, hanya saja agak nganu. Oke, mungkin saya yang terlalu sentimentil dan munafik. Berharap terlalu besar dan tidak melihat ke cermin. Tapi, bukannya setiap orang perlu pandangan orang lain sebagai sarana refleksi dan instropeksi? Cermin tidak melulu cermin yang menampakkan rupa dan penampakan, yang ada nanti kita malah dandan. Atau mungkin justru bukan kalian yang berubah, tapi pemikiran saya sendiri yang telah berbeda dalam memandang sesuatu. Sehingga, banyak dari kalian yang menuding saya telah berubah, aku bukan Romana yang dulu, eaaa. Ah, apapun itu, saya pengin menyampaikan ini.

Saya tidak membenci ormas Islam tertentu, saya juga pasti tidak setuju jika anggota ormas tersebut harus diusir, diasingkan, atau dimusnahkan. Saya tidak membenci mutlak orang-orangnya, hanya tidak setuju dengan pemikirannya. Lalu beberapa dari kalian kini telah berubah menjadi seorang fundamentalis dan berkoar-koar menyuarakan apa yang rombongan itu biasa suarakan. Jika saja bisa berjumpa, saya ingin sekali bertanya apa-apa yang menyebabkan kalian begini, sambil minum kopi. Kalian jadi mudah mengkafirkan, memurtadkan, bahkan memutus pertemanan karena menganggap saya liberal. Tadi juga saya lihat salah satu dari kalian memposting meme yang menyamakan perempuan dengan ayam kemudian manusia dengan babi. Bahwa paha ayam lebih dihargai daripada paha perempuan yang tidak menutup aurat. Bahwa babi itu haram, tapi pacaran lebih haram. Intinya, saya melihat ketidakhumanisan. Setahu saya, orang yang semakin beragama justru akan semakin humanis, but what's wrong with you guys?

Begini, masalah menutup aurat, kita sebagai umat Islam tahu itu wajib. Saya muslim, mengaku sebagai muslim, dan semoga masih diterima sebagai muslim oleh Allah. Yang saya tahu dan saya yakini, Islam tidak memaksa. Menutup aurat ataupun tidak, itu urusan personal. Kalaupun ingin berdakwah mengajak menutup aurat, ya silakan dengan  cara yang lebih manusiawi dan tidak konyol. Konyol yang saya maksud adalah dengan menunggangi akhirat, seolah kalian sudah punya kavling dan kunci surga. Kawanku Sayang, lebih dari itu, memangnya tidak ada permasalahan lain yang lebih urgent untuk diurusi daripada menyinyiri penampilan seseorang sambil menepuk dada seolah paling alim sendiri? Jangan mudah terpukau dengan penampilan dan juga jangan mengukur keimanan berdasarkan apa yang nampak dari atribut-atribut. Islam ndak hanya soal atribut, lebih dalam dan beresensi daripada itu.

Jujur, saya pernah menjadi fanatik seperti kalian. Ketika awal-awal berjilbab dulu, saya yang ingin belajar Islam lebih dalam akhirnya terjerumus dengan pemikiran orang-orang fundamentalis. Saya mengaminkan cita-cita mendirikan khilafah walaupun saya tidak paham bagaimana sistem ekonomi, distribusi, pemerintahan, pendidikan, pemilihan, dan segala hal yang seharusnya dijelaskan oleh orang-orang yang memperjuangkannya. Saya agak mengangguk dengan pendapat seorang ustadz junjungan mereka yang mengatakan bahwa selfie itu haram, perempuan harus di ranah domestik, demokrasi itu haram, dan menolak segala hal berbau Barat. Saya sering menulis status yang waktu itu saya anggap sebagai dakwah. Isi status-status tersebut berkisar ancaman masuk neraka, mengajak berjilbab, mengajak untuk tidak pacaran, dan, yah, semua itu dibarengi dengan anggapan bahwa diri sendiri adalah orang paling suci. Saya memandang orang bukan lagi sebagai sesama manusia atau sesama muslim, tapi yang ada di kepala saya hanyalah "I'm holier than thou", "Dia kafir", "Pasti wahabi", "Antek Yahudi", dll. Jika mengingat itu, sungguh saya menyesal dan jijik dengan diri sendiri.

Teman, pemikiran saya kemudian terbuka karena berdiskusi, banyak mendengar, serta membaca buku-buku dan tulisan lain yang mengkritik apa yang saya yakini. Jadi, saya memberanikan diri menghadapi kritik kemudian menimbang-nimbang sesuai nurani dan akal sehat. Akan lebih baik jika sebelum memutuskan untuk membenci atau mengkuduskan sesuatu, kita tahu benar apa yang kita benci atau agungkan. Jika saat ini anti atau pro terhadap sesuatu, coba ambil napas dan selesaikan dulu definisi apa pengertian, konsep, dan sejarahnya. Baru setelah itu silakan gunakan rasio dan nurani untuk memutuskan keberpihakan. Dengan akal dan nurani ya, bukan dengan ambisi kebencian. Berpikir dan merenung adalah salah satu cara mensyukuri anugerah Allah, kan? Sudah banyak kejahatan kemanusiaan yang terjadi karena kebencian dan kedunguan, semoga kita tidak melanjutkannya. Mungkin kalian masih tak habis pikir dengan pemikiran saya saat ini. Tapi, jawab pertanyaan saya, sebenarnya apa yang sedang kalian perjuangkan?

Untuk kawan-kawan lain yang kemarin saya lihat mengunggah foto yang berhubungan dengan keadaan kalian sekarang, saya bahagia melihat pencapaian kalian semua. Kalian hebat. Ada yang memakai seragam polisi, menjadi TNI, mahasiswa, bekerja, magang, membuka usaha sendiri, bertani, mengajar siswa SD, dan masih banyak lagi. Semoga kalian semua sukses dengan sepenuh pengabdian. Saat ini saya masih melihat kalian sebagai teman sepermainan, SD, SMP, ataupun teman SMA yang dulu saya kenal baik, menyenangkan, ramah. Teman-teman yang tidak mungkin tega mengambil uang rakyat untuk perut sendiri. Teman-teman yang tidak mungkin sudi menerima suap. Teman yang tidak akan berteriak-teriak mendukung penggusuran minoritas ataupun kaum marjinal. Teman yang masih punya nurani, bukan hanya ambisi mendapatkan posisi. Teman yang tidak akan menginjak manusia lain demi membeli sebuah gengsi. Teman-teman yang tidak mungkin menjadi seperti orang-orang yang saat ini kita kutuki, kritik, dan sayangkan kinerjanya. Teman-teman yang masih manusia.

Sayangnya, kita tidak bisa membaca masa depan. Dan sekali lagi, satu-satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri. Pemikiran baik tentang pribadi kalian saya dapat karena berteman ketika kalian belum memiliki kekuasaan. Tapi di masa depan, giliran kita-kita yang memegang tongkat estafet, kekuasaan akan menunjukkan siapa diri kita sebenarnya.  
Kekuasaan, Sayangku, lebih memabukkan daripada miras oplosan atau rayuan seorang bribikan yang manis. Kekuasaan lebih enak untuk disalahgunakan daripada digunakan untuk membenarkan yang salah. Dengan kekuasaan, manusia bisa menjadi lupa akan kemanusiaannya.
Saya khawatir kita akan menjadi sama dengan orang-orang yang kita kritik saat ini. Kalau begitu terus siklusnya, sepertinya memang lebih baik mati muda saja. Kalau sampai kalian menjadi seperti itu, saya tidak segan-segan meminggirkan memori masa lalu untuk kemudian mengkritik dan berdiri membela orang-orang yang kalian curi haknya. Temanku, Calon Polisi, nanti jangan sampai menilang dengan ilegal lalu masuk kantong sendiri dan menggerebek diskusi, kalau tidak ingat dosa coba ingat tanggung jawab. Temanku, Calon TNI, nanti jangan sweeping-sweeping buku kiri atau coba-coba masuk ke ranah politik. Temanku, Calon Guru, jangan lupakan tugasmu untuk mendidik dan semboyannya Ki Hajar Dewantara, masa depan penerus peradaban ada di tangan kalian. Temanku, semuanya, di manapun, kapanpun, dan menjadi apapun kalian nantinya, tetaplah menjadi manusia yang sesungguhnya. Saya tidak ingin suatu saat nanti mengatakan, "Dulu dia teman saya, saya rindu teman saya yang dulu.". Tetaplah jadi teman saya yang asik, silakan berkembang dengan dinamis di mana kalian punya prinsip dan tujuan, tapi jangan menjadi labil karena ambisi menguasai. Kekuasaan harus digunakan dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya, karena dia adalah amanah.

Bangsa kita memanglah menjunjung tinggi kekeluargaan dan persaudaraan. Tapi tidak ada nepotisme di antara kita. Saya berharap kalian tetap menjadi profesional dengan profesi kalian nantinya. Jika saya memang melakukan pelanggaran atau kejahatan, silakan laksanakan tugasmu, abaikan bahwa saya adalah kawan SMA. Pun sebaliknya. Lalu setelah itu semua, kita ngeteh bersama.

Maaf jika saya terkesan sentimentil, cinta tanah air, dan sok bermoral. Zaman sekarang memang aneh. Orang seperti menolak kenyataan bahwa perasaan adalah bagian tak terpisahkan dari diri manusia. Haha, bahkan cinta yang jelas sudah sakral sampai perlu ditekankan lagi dengan istilah "cinta sejati".

Sekian, mari berjuang bersama, tidak harus di jalan yang sama tapi kita akan berjumpa karena tujuan yang sama. Sampai jumpa, entah kapan...

Dan, oh ya, maafkan temanmu ini yang selalu lupa ulang tahun kalian :(



0 komentar:

Posting Komentar