Senin, 15 Februari 2016

Surat untuk Mas Rio


Dear Mas Rio Haryanto yang sedang berjuang demi tampil di F1, 

Apa kabar, Mas? Sehat? Semoga selalu baik-baik saja ya, jangan sampai sakit karena kelelahan mengejar satu seat balap dari Manor. Jaga kesehatan! Ingat-ingat bahwa dikau adalah idola dedek-dedek gmz sejagat Indonesia ini. Lah, ini serius. Lihat saja bagaimana ribuan mata mendelik ketika foto selfie sampeyan dengan mbak Isyana Sarasvati akhirnya terkuak. Berbagai judul artikel online membuatnya bombastis, yah walaupun selfie itu ternyata hanyalah bagian dari iklan smartphone penuh tanya. Oppo? Tapi kan tetep bikin heboh! Lha sama mbak Isyana, je. Coba sama saya, pasti semua orang nyantai sambil bilang, "Heleh, itu Rio cuma lagi foto sama salah satu fansnya."

Mmm, masalah cinta memang pelik ya, Mas. Apalagi cinta di usia muda, wah, rumit. Cinta ini kerap dikhawatirkan akan mengganggu produktivitas dan pengembangan diri. Maka saya rasa sudah tepat kalau Mas memutuskan untuk fokus balapan daripada mikirin pacaran. Bener itu, Mas. Di zaman di mana heroisme mengering, Mas adalah oase yang menyegarkan. Tampan, saleh, muda, mancung, berprestasi, dan berprinsip belum mau pacaran. Bojoable banget! Tapi meskipun begitu keukeuh menampik kedekatan dengan Mbak Isyana—dan wanita lain—serta ogah pacaran, tidak serta merta Mas bebas dari persoalan pelik itu. Tak sawang-sawang Mas ini justru terbelenggu oleh cinta yang lain. Cinta yang terlalu ambisius.

Mas, saya sudah sering dengar tentang perjuangan sampeyan. Mas memulai karier di dunia perbalapan profesional sejak 2008 ketika masih berusia 15 tahun, di saat anak lain sedang kesengsem dengan cinta-cintaan. Mas mengikuti tiga kejuaraan Asia, yakni Asian Formula Renault Challenge, Formula Asia 2.0 dan Formula BMW Pacific. Setelah menduduki peringkat ketiga di FAsia 2.0, sampeyan pun sukses menyabet gelar juara Formula BMW Pacific 2009. Warbyasah!

Tidak mau leyeh-leyeh barang sebentar, pada tahun 2010, sampeyan naik level ke kejuaraan Eropah, GP3 Series, di bawah bendera Manor. Baru 17 tahun dan berasal dari Indonesia, Mas mengalami diskriminasi dan cenderung diremehkan. Mulai dari dipreteli mobilnya karena dicurigai memakai turbo yang tidak sesuai regulasi—dibongkar tanpa dipasang kembali, sampai tidak disediakannya bendera Indonesia dan lagu Indonesia Raya karena panitia tidak menduga sampeyan bisa menapaki podium terpuncak. Mental sampeyan top! Saya waktu umur 17 tahun gitu kalau dipelototin saja langsung pengen mbacok, atau kalau nggak ya bakal saya nyinyirin lewat status fesbuk.

Saya salut, setelah dua musim di GP3 Series, sampeyan kemudian naik ke kejuaraan GP2 Series hingga musim 2015. Di saat orang-orang lagi sibuk berdebat membela kubu Bowo atau Joko, sampeyan dengan gagah menyatakan sudah ready untuk lanjut ke Formula 1. Ya jadi maklum saja lho, Mas, kalau prestasi sebagai peringkat-keempat-klasemen-dengan-selisih-hanya-satu-poin itu ndak mencuat ke permukaan. Lha gimana ya, wong kita menimbunnya dengan debat-debat tak kunjung tuntas. Hehe.

Bukan! Bukan rentetan prestasi luar berbisa itu yang saya maksud sebagai cinta yang terlampau ambisius. Kalau saya bilang gitu mah paling juga gegara iri, Mas. Maksud saya adalah ambisi sampeyan untuk tetap ngotot tampil di efwan, walaupun kekurangan dana.

Saya percaya kok kalau Mas ndak pengin itu yang namanya menjual nasionalisme, enakan juga jualan nasiuduk. Tapi lho, Mas, agar bisa melenggang di efwan, Manor menyaratkan sampeyan membawa mahar 15 juta euro! Dua ratus dua puluh lima milyar rupiah, Mas! Itu kalau buat beli cendol bisa buat renang sampe klenger!

Jatuh cinta boleh, Mas, tapi mbok ya agak realistis. Ada dua tim F1 lain yang naksir sampeyan, Force India dan Sauber. Yo memang mereka hanya menawarkan posisi pembalap cadangan, sih. Tapi dalam percintaan, terkadang menjadi kekasih gelap itu menyenangkan kok. Hehe. Ungu saja sampai bilang, "Kumencintaimu... lebih dari apapun, meskipun engkau hanya kekasih gelapku.." Bukannya di tim Manor malah ada wacana bakal ada empat pembalap utama ya? Widih, diempatkan malah. Ya tapi oke lah kalau Mas tetap mau jadi pembalap utama, saya yakin sampeyan ready.

Tapi gelagat Manor ini kok agak gimana gitu ya, Mas? Atau mungkin cuma perasaan saya aja, ya? Nggg... nganu, Mas, di era kapitalis begini, Manor berkali-kali memberi kelonggaran semacam perpanjangan deadline, sampai diperbolehkan mbayar DP-nya dulu saja. Masa mahar kok pake DP segala. Saya kira sih ini berhubungan dengan kebutuhan vital tim Maron menggaet pebalap yang membawa uang atau sponsor sendiri. Mereka butuh dana tambahan untuk menutup biaya berlaga di F1 yang mencapai lebih dari 40 juta poundsterling atau setara Rp 821 miliar per musim. Makanya mereka begitu lunak memberi kelonggaran, merayu dengan berkata bahwa Manor sangat naksir sampeyan, sampai mendatangi Menpora segala. Demi apa coba?

Ini bukan hanya perkara mengharumkan nama bangsa, ini juga bisnis. Mas, Mas, masih berminat nerusin baca surat ini, kan? Segala yang telah dimulai harus dituntaskan, jadi baca terus saja, sambil ngopi juga nggakpapa. Hehe.

Oh ya, Mas, sampeyan pasti tahu kan fenomena pay driver? Sepertinya hampir semua pembalap olahraga mahal efwan menjadi pay driver, ya? Saya itu cuma khawatir nasib Mas sama kayak Kang Glock yang akhirnya didepak dari tim. Ya emang dia bawa sponsor, tapi gajinya lebih besar daripada dana yang dihasilkan dari sponsor yang mendukungnya. Atau seperti Heikki Kovalainen yang juga didepak oleh McLaren. Jadi ya gitu, langsung ditalak tiga. Filosofinya: ada uang abang sayang, tak ada uang abang kutendang. Saya dan tentunya jamaah dedek gmz sekalian, ndak bakal tega kalau ngeliat Mas digituin. Hati kami tersobek-sobek, Mas. Kami maunya Mas jadi kayak Lewis Hamilton.

Mas, bukan saya ndak mendukung pemuda harapan bangsa seperti Mas Rio ini semakin maju di kancah internesyenel. Hanya saja masalahnya, mbok-mbokan kita juga dilema luar biasa. Pemerintah juga serba salah, Mas. Mau ngasih bantuan 100 M pasti akan ada orang-orang yang nyinyir. Lha gimana enggak? 100 milyar hanya untuk dikau seorang, sementara banyak rakyat mati kelaparan dan jauh dari kata sejahtera. 100 milyar itu kalau untuk bayar kost mahasiswa kere macam saya mah bisa sampe tujuh turunan. Dan pasti ada yang bilang, "Seratus milyar cuma buat balapan? Urgensinya apa? Manfaatnya apa?" Pemerintah galau.

Itu misalkan saja jadi ngasih lho ya, belum lagi kalau nggak ngasih. Puasti muncul pernyataan begini, "Ya pantes nggak dikasih, wong 100 M itu kalau buat bancakan anggota DPR bise tumpeh-tumpeh!" "Inilah Indonesia. Anak bangsa yang ingin mengharumkan nama bangsa justru tidak didukung." "Rio, kesalahanmu cuma satu, yaitu terlahir sebagai warga Indonesia."

Menyamakan nasib Mas Rio dengan Habibie atau Dr. Warsito juga sarat pro-kontra lagi lho, Mas. Lha piye, kedua orang itu karyanya jelas bermanfaat bagi umat. Kalau balapan? Salahkah saya jika menyebutnya ambisi yang terlalu? Jika iya, mohon dijelaskan, Mas e.

Saya dengar, Mas akhirnya bisa dipastikan tampil di F1 setelah membayar DP, ya? Dibantu oleh PT. Kiky Sport, pihak Mas membayar sebesar 3 juta euro atau 45,6 milyar rupiah, tapi masih kurang 2,5 juta euro sebagai sanksi telat bayar. Dengan begitu, Mas hanya bisa tampil 7 seri dari keseluruhan 21 seri.

Mas, semesta juga tahu sampeyan sangat berbakat. Tapi, ayolah, Mas, puluhan milyar ludes dan hanya tampil sepertiga seri? Oh, come on. Mending fokus di GP2 dulu saja, maksimalkan kemampuan. Kesempatan bisa datang kapan saja, Mas. Tapi ambisi selalu datang tak tepat waktu.

Mas, semoga sampeyan menangkap apa yang sebenarnya sama sampaikan. Jatuh cintalah, Mas, hehe. Semua orang bilang bahwa sampeyan berjuang sendirian. Biar kuberi tahu satu rahasia, Mas. Ada yang lebih menyakitkan daripada berjuang sendirian, Mas, yaitu jatuh cinta sendirian. Hehe. Sekian. Jangan lupa bahagia.

0 komentar:

Posting Komentar