Senin, 10 April 2017

Mengeja Raden Mandasia

twitter Penerbit Banana



Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi adalah salah satu hal terbaik di kehidupan saya yang 2017 ini lebih sering biasa saja tanpa yang hal-hal yang mengagumkan. Paman Yusi, paman kita semua, paman semesta raya, mendongeng dengan anjing sekali indahnya. Kamu harus menelan kepercayaan bahwa dongeng adalah nama lain pengantar tidur. Telan dengan baik, jangan sampai mati sia-sia hanya karena tersedak, tidak aduhai. Beberapa hari yang lalu saya lupa cara memejamkan mata sehingga hamba yang sholeha ini tidak bisa shalat tahajud karena keasyikan membaca dongengan Paman Yusi. Ketika sampai halaman terakhir, saya baru tersadar kalau sudah jam tiga pagi dan rendaman cucian sejak pagi sebelumnya belum saya bilas pagi ini. Oh, betapa!

Jika idola remaja masa kini, Mz Sabda Armandio, menuliskan bahwa kemungkinan besar penyebab banyak pengarang masuk neraka adalah akibat mengecewakan pembaca dengan menyajikan akhir cerita yang buruk; memaksa terus bercerita saat tiba di titik terbaik untuk menamatkannya, dan lebih buruk lagi dibuatkan sekuel meski tahu kerangka logika di cerita sebelumnya tak didesain  buat menampung cerita lanjutan, saya ingin menambahkan ‘membuat pembaca lupa mencuci baju dan beribadah’ ke daftar dosa pengarang tersebut. Tapi tak apa, Paman, lagipula surga isinya yang indah-indah, yang baik-baik, yang damai-damai, tidak ada yang bisa dituliskan.

Judulnya memang Raden Mandasia, tapi tidak perlu terlalu berharap si Raden Mandasia bakal menjadi tokoh utama dan pusat cerita. Porsi Raden Mandasia bahkan tidak lebih banyak daripada si pencerita, Sungu Lembu. Tapi tentunya dongeng tak akan berkisah sehebat ini tanpa Raden Mandasia sekonyong-konyong hadir di kehidupan Sungu Lembu. Judulnya memang ada sapi, tapi kamu bakal lebih sering disuguhkan anjing dan babi─di pembacaan yang kedua atau ketiga nanti saya berencana fokus menghitung berapa kata ‘anjing’ di novel ini. Tapi tanpa mencuri daging sapi, Sungu Lembu entah kapan bakal bertemu Watugunung dan Babad Tanah Jawa tidak dituliskan. Haha.

Di sampul Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi terukir kata ‘dongeng’ karena buku ini lebih tepatnya adalah rangkaian dongeng dunia yang berkumpul jadi satu. Kamu bakal berjumpa dengan Putri Tabassum yang kecantikannya membuat cermin-cermin retak dan pecah karena tidak kuasa menampung kecantikan itu. Ingatanmu akan mengais kisah seorang nabi yang ditelan paus ketika dua orang penumpang kapal secara bergantian jatuh ke laut untuk kemudian ditelan paus. Kamu juga akan berjumpa dengan kisah Sangkuriang yang digetok kepalanya memakai centong nasi, dan kisah-kisah lain yang diciptakan sendiri oleh Paman Yusi atau yang lain yang belum kita dengar.

Dongeng ini tidak menuntutmu harus menemukan amanat atau pesan moral, saya pikir Paman Yusi bukanlah guru Bahasa Indonesia atau pendakwah ataupun Opahnya Upin Ipin yang setiap kau habis membaca sebuah kisah akan menanyakan “Jadi, apa amanat yang ingin disampaikan?”. Lalu kamu berpikir keras dan memungut apapun di kisah untuk memaksakan amanat yang terkandung. Kita tahu itu sungguh menyakitkan. Tenang saja, Paman Yusi justru mengajakmu bersenang-senang dan menikmati tiap adegan persetubuhan, titik kelezatan makanan, dan mantapnya umpatan-umpatan tokoh.

Mungkin Paman Yusi bukanlah tipe guru Bahasa Indonesia yang rajin sekali obral pesan moral, tapi bliyo dengan dongengnya ini membuat saya ingin banting setir jadi penjual tahu-bulat-digoreng-engga-dadakan-karena-biar-ndak-kaget-tahunya saja daripada tetap menjadi mahasiswa jurusan Sastra Indonesia. Lha gimana tidak, ada banyak kata yang harus saya cari dulu di KBBI karena tidak tahu artinya. Misal saja merancap, cindai, mandah, mengkal dan sebagainya. Belum lagi tata krama dalam penyusunan kalimat yang rapi memenuhi dongeng ini. Anjing betul, saya merasa dipermalukan.

Dengan tidak menggurui, bukan berarti Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi nirfaedah. Ada lautan pesan yang bisa kita ambil untuk direnungkan atau setidaknya membuatmu meninju kepalamu sendiri sambil berkata, “Anjing, iya juga ya?” ketika mendapati bahwa kita sebenarnya tidak saling mengenal atau bahwa kesempurnaan justru membuat kita berhenti mencari atau yang paling penting adalah bahwa semua manusia pasti buang air besar. Tapi, sekali lagi, kau tidak akan merasa dihakimi seperti ketika kamu membaca… ah kau tahulah.

Siapapun yang membaca dongeng ini pasti merasa bahagia sekaligus sebal. Jika banyak karya melulu mengusung narasi-narasi besar─yang sumpah mati membosankan itu─karena (mungkin) ingin terkesan hebat, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi tidak begitu. Kau memang akan diseret pada bagian membosankan ketika perang antara Gerbang Agung dan Gilingwesi yang seperti Mahabharata, tapi serius, peristiwa itu seperti figuran saja di sini. Penggalan-penggalan kisah yang lain lebih mengasyikkan, lebih dalam dibahas dan mendominasi dongeng ini. Misal tentang hidup Loki Tua, tentang petualangan di lautan, Kasim U, Nyai Manggis, dan lain-lain, dan lain-lain. Saya kira di situlah salah satu kelebihannya. Jika Lelaki Harimau ­membuka dengan kalimat pertama bahwa Margio telah membunuh Anwar Sadat lalu setelahnya adalah penelusuran motif pembunuhan dan bangsatnya kita baru akan tahu motifnya di akhir cerita, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi menceritakan panjang lebar tentang latar belakang dendam Sungu Lembu  hingga berkeinginan membunuh Watugunung sampai kamu ikut geregetan kapan adegan perkelahian berujung kematian Watugunung akan diceritakan dengan dahsyat, rasa geregetanmu akan berbuah sebal dengan kematian Watugunung yang hanya dituliskan dalam satu kalimat. Mengesankan.

Jika kau membaca novel-novel Eka Kurniawan, kau pasti akrab dengan cerita kolosal mengusung kearifan lokal yang dikemas dengan apik, dan Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi merupakan dongeng kontemporer berlatar kolosal  yang saya pikir hampir sejenis. Luhur. Kisah semacam ini tidak banyak dilahirkan pada era sekarang dan rentan diabaikan, tapi pembawaan kisah yang baik saya jamin tidak membuatmu bosan berlama-lama menekuninya. Masih banyak yang menarik, tidak akan menarik jika saya ceritakan semua, jadi baca sendiri saja. Saya sudah cukup menyesal karena baru membacanya akhir-akhir ini setelah ada cetakan kedua, jadi sebaiknya kamu menemani saya.

Selepas menutup sampul belakang, kamu akan tahu betapa kenikmatan surgawi telah dititipkan Tuhan ke buku ini.

Tabik untuk Paman Yusi Avianto Pareanom, saya jadi penasaran dengan rasa daging babi. Teman-teman tolong jebak saya makan daging babi dengan mengatakan bahwa itu daging sapi halal ketika menawarkannya. Nanti saya tak pura-pura tidak tahu. Ayolaaa~


0 komentar:

Posting Komentar