twitter Penerbit Banana |
Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi adalah salah satu hal
terbaik di kehidupan saya yang 2017 ini lebih sering biasa saja tanpa yang hal-hal
yang mengagumkan. Paman Yusi, paman kita semua, paman semesta raya, mendongeng
dengan anjing sekali indahnya. Kamu harus menelan kepercayaan bahwa dongeng
adalah nama lain pengantar tidur. Telan dengan baik, jangan sampai mati sia-sia
hanya karena tersedak, tidak aduhai. Beberapa hari yang lalu saya lupa cara
memejamkan mata sehingga hamba yang sholeha ini tidak bisa shalat tahajud karena
keasyikan membaca dongengan Paman Yusi. Ketika sampai halaman terakhir, saya
baru tersadar kalau sudah jam tiga pagi dan rendaman cucian sejak pagi
sebelumnya belum saya bilas pagi ini. Oh, betapa!
Jika idola remaja masa
kini, Mz Sabda Armandio, menuliskan bahwa kemungkinan besar penyebab banyak
pengarang masuk neraka adalah akibat mengecewakan pembaca dengan menyajikan
akhir cerita yang buruk; memaksa terus bercerita saat tiba di titik terbaik
untuk menamatkannya, dan lebih buruk lagi dibuatkan sekuel meski tahu kerangka
logika di cerita sebelumnya tak didesain buat menampung cerita lanjutan, saya ingin
menambahkan ‘membuat pembaca lupa mencuci baju dan beribadah’ ke daftar dosa
pengarang tersebut. Tapi tak apa, Paman, lagipula surga isinya yang
indah-indah, yang baik-baik, yang damai-damai, tidak ada yang bisa dituliskan.
Judulnya memang Raden
Mandasia, tapi tidak perlu terlalu berharap si Raden Mandasia bakal menjadi
tokoh utama dan pusat cerita. Porsi Raden Mandasia bahkan tidak lebih banyak daripada
si pencerita, Sungu Lembu. Tapi tentunya dongeng tak akan berkisah sehebat ini
tanpa Raden Mandasia sekonyong-konyong hadir di kehidupan Sungu Lembu. Judulnya
memang ada sapi, tapi kamu bakal lebih sering disuguhkan anjing dan babi─di
pembacaan yang kedua atau ketiga nanti saya berencana fokus menghitung berapa
kata ‘anjing’ di novel ini. Tapi tanpa mencuri daging sapi, Sungu Lembu entah
kapan bakal bertemu Watugunung dan Babad Tanah Jawa tidak dituliskan. Haha.
Di sampul Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi
terukir kata ‘dongeng’ karena buku ini lebih tepatnya adalah rangkaian dongeng
dunia yang berkumpul jadi satu. Kamu bakal berjumpa dengan Putri Tabassum yang
kecantikannya membuat cermin-cermin retak dan pecah karena tidak kuasa
menampung kecantikan itu. Ingatanmu akan mengais kisah seorang nabi yang
ditelan paus ketika dua orang penumpang kapal secara bergantian jatuh ke laut
untuk kemudian ditelan paus. Kamu juga akan berjumpa dengan kisah Sangkuriang
yang digetok kepalanya memakai centong nasi, dan kisah-kisah lain yang
diciptakan sendiri oleh Paman Yusi atau yang lain yang belum kita dengar.
Dongeng ini tidak
menuntutmu harus menemukan amanat atau pesan moral, saya pikir Paman Yusi
bukanlah guru Bahasa Indonesia atau pendakwah ataupun Opahnya Upin Ipin yang setiap
kau habis membaca sebuah kisah akan menanyakan “Jadi, apa amanat yang ingin
disampaikan?”. Lalu kamu berpikir keras dan memungut apapun di kisah untuk
memaksakan amanat yang terkandung. Kita tahu itu sungguh menyakitkan. Tenang
saja, Paman Yusi justru mengajakmu bersenang-senang dan menikmati tiap adegan
persetubuhan, titik kelezatan makanan, dan mantapnya umpatan-umpatan tokoh.
Mungkin Paman Yusi
bukanlah tipe guru Bahasa Indonesia yang rajin sekali obral pesan moral, tapi
bliyo dengan dongengnya ini membuat saya ingin banting setir jadi penjual
tahu-bulat-digoreng-engga-dadakan-karena-biar-ndak-kaget-tahunya saja daripada
tetap menjadi mahasiswa jurusan Sastra Indonesia. Lha gimana tidak, ada banyak
kata yang harus saya cari dulu di KBBI karena tidak tahu artinya. Misal saja merancap, cindai, mandah, mengkal dan
sebagainya. Belum lagi tata krama dalam penyusunan kalimat yang rapi memenuhi
dongeng ini. Anjing betul, saya merasa dipermalukan.
Dengan tidak
menggurui, bukan berarti Raden Mandasia
Si Pencuri Daging Sapi nirfaedah. Ada lautan pesan yang bisa kita ambil
untuk direnungkan atau setidaknya membuatmu meninju kepalamu sendiri sambil
berkata, “Anjing, iya juga ya?” ketika mendapati bahwa kita sebenarnya tidak
saling mengenal atau bahwa kesempurnaan justru membuat kita berhenti mencari
atau yang paling penting adalah bahwa semua manusia pasti buang air besar. Tapi,
sekali lagi, kau tidak akan merasa dihakimi seperti ketika kamu membaca… ah kau tahulah.
Siapapun yang membaca
dongeng ini pasti merasa bahagia sekaligus sebal. Jika banyak karya melulu mengusung
narasi-narasi besar─yang sumpah mati membosankan itu─karena (mungkin) ingin
terkesan hebat, Raden Mandasia Si Pencuri
Daging Sapi tidak begitu. Kau memang akan diseret pada bagian membosankan
ketika perang antara Gerbang Agung dan Gilingwesi yang seperti Mahabharata,
tapi serius, peristiwa itu seperti figuran saja di sini. Penggalan-penggalan
kisah yang lain lebih mengasyikkan, lebih dalam dibahas dan mendominasi dongeng
ini. Misal tentang hidup Loki Tua, tentang petualangan di lautan, Kasim U, Nyai
Manggis, dan lain-lain, dan lain-lain. Saya kira di situlah salah satu
kelebihannya. Jika Lelaki Harimau membuka
dengan kalimat pertama bahwa Margio telah membunuh Anwar Sadat lalu setelahnya
adalah penelusuran motif pembunuhan dan bangsatnya kita baru akan tahu motifnya
di akhir cerita, Raden Mandasia Si
Pencuri Daging Sapi menceritakan panjang lebar tentang latar belakang dendam
Sungu Lembu hingga berkeinginan membunuh
Watugunung sampai kamu ikut geregetan kapan adegan perkelahian berujung
kematian Watugunung akan diceritakan dengan dahsyat, rasa geregetanmu akan berbuah
sebal dengan kematian Watugunung yang hanya dituliskan dalam satu kalimat. Mengesankan.
Jika kau membaca
novel-novel Eka Kurniawan, kau pasti akrab dengan cerita kolosal mengusung
kearifan lokal yang dikemas dengan apik, dan Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi merupakan dongeng kontemporer
berlatar kolosal yang saya pikir hampir sejenis.
Luhur. Kisah semacam ini tidak banyak dilahirkan pada era sekarang dan rentan
diabaikan, tapi pembawaan kisah yang baik saya jamin tidak membuatmu bosan
berlama-lama menekuninya. Masih banyak yang menarik, tidak akan menarik jika
saya ceritakan semua, jadi baca sendiri saja. Saya sudah cukup menyesal karena
baru membacanya akhir-akhir ini setelah ada cetakan kedua, jadi sebaiknya kamu
menemani saya.
Selepas menutup sampul
belakang, kamu akan tahu betapa kenikmatan surgawi telah dititipkan Tuhan ke
buku ini.
Tabik untuk Paman Yusi
Avianto Pareanom, saya jadi penasaran dengan rasa daging babi. Teman-teman
tolong jebak saya makan daging babi dengan mengatakan bahwa itu daging sapi
halal ketika menawarkannya. Nanti saya tak pura-pura tidak tahu. Ayolaaa~
0 komentar:
Posting Komentar