Inilah sebetulnya salah satu bentuk penistaan agama yang paling keji siapapun pelaku dan korbannya. Baru petang ini aku menggambar salah seorang anak korban meninggal karena kebiadaban itu. Agama memanusiakan manusia dan makhluk lain. (Toni Malakian)
Seperti biasa, perpustakaan
kampus masih akan tutup pada pukul sepuluh malam. Malam ini, sejak ba’da
maghrib, saya masih di sini, seharusnya mengerjakan tugas, mencari data, atau
membaca buku. Tiga puluh menit pertama saya habiskan untuk memandang
orang-orang dan mendengarkan kebisingan. Iya, jam-jam segini memang
perpustakaan tidak akan sunyi. Mirip angkringan tempat biasa ngopi, tapi tidak
ada kopi. Tidak perlu sampai memecahkan gelas biar ramai. Semua
bersahut-sahutan, banyak kata yang tergelincir dari berpuluh-puluh lidah sampai
saya tidak berhasil menangkap satu pun kalimat utuh.
Seorang lelaki
berkacamata duduk di meja seberang saya, senyum-ketawa sendiri sambil menatap
layar laptop. Mungkin menertawakan video lucu, tulisan lucu, atau semacamnya.
Nampak berbahagia, dengan headset di
kedua telinga. Samping kiri saya adalah meja dengan banyak orang
mengelilinginya. Mungkin belajar kelompok. Di arah jam dua, sepuluh mahasiswi
duduk mengelilingi meja dengan lima botol air mineral dan kertas-kertas di
atasnya. Dua orang belajar, dua sibuk dengan gawai, sisanya sedang mengobrol
dengan riang sekali. Banyak kelompok jenis seperti mereka juga, saya taksir ada
70% di ruangan ini. Sedangkan yang sekarang sedang semeja dengan saya adalah
seorang perempuan berkerudung hijau tosca dengan baju batik, saya tidak kenal,
dia memilih duduk di sini karena memang tidak ada pilihan lain. Sesekali
melirik saya, raut wajahnya serius, mungkin ada deadline besok pagi dan
pandangan jelalatan saya agak mengganggunya.
Di Samarinda, Minggu (12/11/2016) pagi, seorang
yang disebut sebagai ‘jihadis’ melemparkan bom molotov ke arah gereja
sekenanya. Seorang
gadis kecil meninggal beberapa hari yang lalu. Intan Olivia. Empat terluka, hingga Intan tak mampu lagi bertahan. Terbakar,
sampai-sampai bajunya lengket dengan kulit. Intan pergi ke surga di usia yang
sedang lucu-lucunya. Dunia sepeninggalnya masihlah dunia yang berisik dan
mengerikan. Tentu masih ada yang membantu dan berduka. Tapi sayangnya juga
tetap ada beberapa yang menuduh sebagai pengalihan isu atas dugaan penistaan
agama oleh seorang gubernur di ibukota. Beberapa lainnya juga menganggap ini
adalah sebuah konspirasi. Ya, banyak korban dan keluarga yang ditingggalkan,
seorang bocah meninggal, dan yang lebih menyedihkan adalah: ada orang-orang
yang tidak tersentuh relung kemanusiaannya kemudian justru mengganggap ini
sebatas atraksi politis belaka. Saya belum menemukan kata ganti, bahkan asu dan
bangsat pun masih terlalu mulia untuk disandangkan di atas nama mereka.
Orang yang
menyebut peristiwa pengeboman sebagai pengalihan isu dan konspirasi itu
mengulang-ulang perkataan yang sama. Mempertanyakan kemana kepedulian kita
ketika tragedi di Gaza, Beirut, Suriah, dll. Mengatakan lagi bahwa teroris
tidak memiliki agama. Saya justru membaca pembelaan pertama sebagai upaya untuk
membalik quote Mbah Stalin yang berbunyi, "a single death is a tragedy, a million
deaths is a statistic”. Atau sebenarnya
hanya ingin mengatakan bahwa kepedulian harusnya dibatasi agama dan kepentingan
politik. Pembelaan yang kedua adalah ketidakberanian menemui diri sendiri.
Kenyataannya, teroris memang memiliki agama. Dan bisa jadi teroris kebetulan
mereka memiliki agama yang sama dengan saya, kamu, kalian.
Penafsiran yang
picik akan sebuah tragedi kemanusiaan akhirnya membuat orang-orang itu tak lagi
adil sejak dalam pikiran. Lebih rumit lagi ketika ada satu, dua, atau beberapa
orang di sekitar saya yang mendukung orang-orang itu. Saya selalu kesulitan dan
sempat putus asa menjelaskan. Ada perasaan yang mengganggu. Dia guru saya, dia
teman SMA saya, dia teman kuliah saya, dia kenalan saya. Pemikiran yang sama
sekali bertentangan, lantas bertabrakan, tapi tidak kunjung berani berkelahi
sekalian karena takut mengorbankan hubungan. Saya tidak ingin suatu hari hanya
akan menyebut mereka sebagai mantan guru atau mantan teman.
Akhirnya kematian manusia memiliki berbagai sudut, mulai dari kematian sebagai tragedi, kematian sebagai statistik, dan kematian sebatas bagian dari atraksi politik. Lain kali mungkin kemanusiaan yang bakal menghadapi kematian.
Dan saya kembali memandang orang-orang di perpustakaan tadi. Gaduh dan sibuk sendiri. Menengok teman-teman di kantin tadi siang, pemilu di lingkungan fakultas, berisiknya grup angkatan, teman-teman yang sibuk dengan kepanitiaan hendak mengadakan suatu event, mahasiswa yang disiplin sekali dalam akademik, mereka yang bergegas, penumpang bus antar kota yang kelelahan, lalu orang-orang dalam perjalanan ke tempat kerja. Apa mereka tahu tentang Intan? Apa mereka peduli?
Saya jadi
teringat film Room yang kemarin saya tonton. Mengenai cara tokoh Jack memandang
dunia. Jack baru berusia lima tahun, belum pernah melihat dunia sebelumnya,
empat tahun hidupnya dihabiskan di satu ruangan tempat dia dan ibunya disekap
oleh penculik. Jack percaya bahwa dunianya memang sebatas empat dinding yang
pengap itu dengan segala imajinasi dan dongeng yang ia yakini benar. Daun,
pohon, orang-orang, mobil, hanyalah hasil sihir di televisi. Singkat cerita dia
dan ibunya akhirnya bebas. Dan Jack sesekali bermonolog…
“Sudah 37 jam aku berada di dunia. Aku telah melihat
panekuk dan tangga. Dan burung, dan jendela, dan ratusan mobil. Dan awan, dan
polisi, dan dokter. Dan kakek, dan nenek. Aku telah melihat orang-orang dengan
wajah, ukuran, dan bau berbeda… saling bicara. Dunia seperti planet TV pada
saat bersamaan, jadi aku tak tahu harus melihat dan mendengar ke mana.”
“Ada begitu banyak tempat di dunia. Tapi hanya ada
sedikit waktu, karena waktu harus menyebar, ke semua tempat, seperti mentega.“
Dunia jadi
terasa penuh sekaligus kosong secara bersamaan. Banyak orang berbicara dan
bergegas. Mobilitas tinggi yang berimbas pada keintiman perasaan yang merendah.
Saling bertemu karena memang ada kepentingan. Merencanakan sesuatu, mengejar
waktu agar tidak terlambat, mengerjakan tugas, mengadakan event, membayar
tagihan, dan menggadaikan hidup pada jadwal-jadwal. Pemaknaan, penghayatan, dan
rasa sentimentil lebih layak ditertawakan. Dunia seperti sedang berusaha keras
membuat manusia menolak kenyataan bahwa perasaan dan kemanusiaan adalah bagian
tak terpisahkan dari dirinya. Segalanya hanyalah rutinitas. Makan, tidur,
bekerja, tertawa, kuliah, dan beribadah. Kelahiran adalah rutinitas, perayaan
hanyalah formalitas. Termasuk kematian, kematian sepertinya juga dianggap
sebagai rutinitas belaka.
Betapa anehnya
kemanusiaan kita. Mungkin karena memang dunia seperti banyak televisi yang
menyala secara bersamaan dengan tayangan yang berbeda-beda, sehingga kita tak
tahu harus melihat dan mendengar ke mana. Kemanusiaan dan kepedulian akhirnya
tak tahu harus ditempatkan di mana. Sampai kita lupa bahwa dalam kematian
paling sepi dan sendiri pun, tetap selalu ada gagasan tentang rasa kehilangan
yang menyeruak. Dalam kehidupan yang plural, berjalan cepat, tergesa, kontras,
dan penuh dengan seliweran informasi memang agak sulit meluangkan tempat untuk
perenungan. Kematian, pembunuhan mungkin baru terasa menyayat ketika menimpa
orang terdekat. Benar kata Mbah Pram:
"Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana."
Dunia nampaknya
bakal begini-begini saja, Intan. Berbahagialah di surga, semoga tidak ada orang
tidak waras yang melemparkan bom kepadamu. Bermainlah, pasti di sana ada
jungkat-jungkit dan banyak ayunan. Biar Tuhan memelukmu dengan kasih sayang
sepenuhnya. Titip salam untuk Tuhan, katakan padanya, maafkan kami, maafkan
kami.
0 komentar:
Posting Komentar