Rabu, 10 Februari 2016

Televisi dan Kerinduan

source: pinterest.com
Hujan memang selalu berhasil membuat malam semakin melankolis. Sepertinya benar apa kata para remaja labil itu, bahwa hujan terdiri dari 99% kenangan, 1% air. Haha. Embuh itu perhitungan darimana, jangan ditanya dan dianalisis secara ilmiah. Kamu ini, sedikit-sedikit kok nganalisis, selow sitik lah, Belanda masih jauh, Bung.

Kenangan yang saklebat menyapa adalah kenangan masa kecil beberapa tahun lalu. Biasanya seusai maghriban, saya dan kakak perempuan saya langsung bergegas mengambil sarung dan jarik. Saking bergegasnya, saya ndak pernah khusyuk salat maghrib, kadang ketika salam hanya nengok ke kanan saja, lalu langsung ngelorotin mukena, dan lompat ngambil sarung. Bukan, kami bukan hendak main maling-malingan, gendong-gendongan, atau mau tidur. Kami mau ke rumah tetangga, mau nonton televisi. Sarung dan jarik itu buat kemulan kalau banyak nyamuk atau kedinginan. Apalagi kami seringkali menonton sampai larut malam.

Saya tidak terlalu ingat apa motivasi saya ingin menonton televisi sampai segitunya. Saya juga tidak terlalu paham jalan cerita sinetron maupun acara yang tayang, pokoknya seneng. Selain film India, hal yang membekas di ingatan hanyalah lagu dangdut yang ada lirik "aku takut dipukul ayah, akhirnya kutidur di bawah jendela" atau "lima menit lagi, ah ah ah...". Sungguh masa kecil yang ternoda.

Ketika itu, televisi memang belum menjadi kebutuhan primer masyarakat. Televisi adalah kebutuhan tersier, milik orang-orang yang terpandang dan kebanyakan duit. Orang-orang yang tidak lagi memikirkan "besok bisa makan atau tidak". Dan yang pasti bukan keluarga saya yang hari-hari dilanda keresahan semacam itu. Jangankan beli kotak ajaib itu, beli remotenya pun terengah-engah.

Selain tetangga depan rumah saya, keluarga lain yang memiliki televisi adalah Pak Carik. Sehingga tidak ada pilihan lain, rambut saya bisa dicukur lanang sama Ibuk kalau sampai pethakilan nonton tv Pak Carik. Sungkan dan harus jaga kelakuan. Seperti semua perangkat desa lain, Pak Carik harus dihormati. Pokoknya yang pakai seragam dan sepatu bagus dianggap dewa oleh kebanyakan masyarakat desa.

Defisit televisi di kampung saya tidak memungkinkan semua warga berkumpul ramai-ramai menonton tv di rumah tetangga saya, Budhe—semua orang memanggilnya Budhe. Sehingga hanya orang gumunan macam saya dan kakak yang tidak mampu mengontrol nafsu. Warga lain biasa menghabiskan senja hingga larut malam dengan cangkrukan, ngobrol di teras rumah yang berlantai tanah, menyapa tetangga, nggosipin si A yang sudah hamil duluan, atau mengajari anaknya membaca. Terkadang Ibuk dan Bapak juga mengajari saya membaca. Saya sering kesulitan ketika ada huruf konsonan yang berjejer atau ketika menulis huruf nggandhul semacam y, g, j. Rumah bisa jadi sangat ramai karena saya akan sengaja mengeja dan ngeyel dengan suara keras agar tetangga tahu bahwa saya sudah pintar membaca. Rumah juga benar-benar rumah ketika semua keluarga bercengkrama dan tertawa bersama.

Tidak jarang saya ikut Bapak nyangkruk di pertelon. Bapak-bapak biasa membicarakan tentang sawah, pupuk, pestisida, tetangga yang tertangkap polisi karena judi togel, kopi, rokok, tembakau, pabrik, dan wacana pembangunan jalan oleh kepala desa. Saya juga pernah nimbrung kumpulan ibuk-ibuk desa. Kelompok ini biasa membicarakan gosip dari ujung etan sampai ujung kulon, harga cabai, perkembangan anak, kreditan panci, curhat-curhatan, sekolah anak, program PKK, dan banyak lagi. Untung saat itu saya tidak sedang menjadi mahasiswa baru yang baru saja diberi mata kuliah feminisme. Wah, bisa hancur romantisme masa kecil dengan teriakan latah, "Bias gender! Perempuan harusnya begini! Patriarki."

Terlepas dari topik obrolan warga kampung, saya suka dengan kebersamaan, keakraban dan kekeluargaannya. Saya kangen. Kangen banget. Seberapapun besar kenikmatan yang saya dapatkan ketika sunyi sepi sendiri, saya tetap manusia yang menyukai kebersamaan. Kebersamaan yang hangat, membuat kita dekat dan akrab. Tanpa ada rasa khawatir ketinggalan satu episode sinetron, tanpa saling diam karena sibuk menelan iklan dilayar tv.

Semua berubah ketika televisi menyerang. Jalanan kampung tak lagi riuh, terlampau sepi. Terkadang, batas antara damai dan menyedihkan memang sangat tipis. Saya seperti kebanyakan generasi 90-an memang kerap melankolis merindukan masa lalu
. Yah, walaupun Dewi Kunthi pernah berkata, "Kerinduan akan masa lalu, adalah wujud ketakutan akan ketidakjelasan masa depan."

Sekarang televisi sudah hampir pasti ada di rumah-rumah, bahkan satu rumah ada yang memiliki lebih dari satu. Di satu sisi, televisi memang sebagai sarana edukasi, mempermudah penyebaran informasi dan berita terkini, serta perkembangan program pemerintah. Lha emang itu tujuan utama pemerintah dan mbak mas unyu  mahasiswa KKN menggetolkan program "Televisi Masuk Desa" kok. Namun sayangnya, hampir kebanyakan televisi sekarang malah menampilkan tayangan tak bermutu. Televisi mengkhianati tujuan sucinya sendiri. Persetan dengan edukasi dan informasi, yang penting rating dan banyak sponsor. Duh, Gusti, nalarku direndahkan televisi, begitu kata Silampukau.

Sepeninggal budaya cangkrukan kala petang, masyarakat lebih sering ndekem di rumah. Menikmati tayangan yang menurut saya, kualitasnya jelek saja belum. Semua pintu tertutup. Jika dulu saya bisa melenggang riang ketika jam 9 malam, sekarang saya hanya akan berteman jangkrik jika keluar jam 8 malam lebih. Rasanya pengen nyanyi lagu sendu terus ngundang jelangkung.

Ketika saya merantau ke kota, sesekali dan bahkan sering "kangen deso" itu muncul.  Di balik frase tersebut, sebenarnya saya hanya sedang jadi pengecut yang ogah mengakui sedang rindu masa lalu. Iya, saya tidak sedang merindukan desa saya dalam arti sebenarnya. Hal itu karena sekarang, desa tak lagi desa. Desa pun telah mengurban. Desa dan kota hampir sama, kecuali dalam hal keindahan alamnya. Saya hanya sedang rindu dengan kekeluargaan itu.

Televisi datang bak kotak ajaib pembawa kebahagiaan, lalu mengkhianati peran. Mengikis nalar, sekaligus kebersamaan.

Pernah sekali saya ingin membanting setiap tv di rumah warga lalu mengepalkan tangan ke atas sambil bilang, "Tonggomu mati kabeh!".

Fiuh, untung cuma imaji gendheng yang tetap tersimpan rapi di hati. Kalau direalisasikan, modyar aku!

0 komentar:

Posting Komentar