Senin, 08 Februari 2016

Ikan Asin



Baru sampai rumah, saya disambut oleh kucing saya. Namanya Laras, tapi panggil saja Mumus karena ternyata dia kucing jantan. Seperti biasa, dia meong-meong, menyeruduk sok imut, dan gulung-gulung. Kemampuan merayunya memang luar biasa. Tapi ada yang beda. Dia kurusan, padahal ndak suka mabuk-mabukan.
Bulu—atau rambut ya, di bagian kiri badannya mengelupas separuh. Sebagian seperti habis waxing, sebagian seperti habis melaksanakan penyelesaian konflik dengan kearifan lokal. Jadi Mus ini telah disiram air panas lalu ketika luka itu hampir kering, dia gelut dengan kucing lain. Jadilah luka yang cukup parah. Saya menyalahkan siapapun yang menyiram air panas itu. Jujur saja, saya jadi ingat kucing saya yang dulu mati karena disiram minyak tanah oleh seseorang. Atau anak-anak kucing yang akhirnya mati karena dikubur hidup-hidup setelah dua hari kehadirannya di dunia yang kejam ini.

Bapak ndak tahu siapa tetangga yang menyiram. Mungkin Mumus cluthak, katanya. Lah, mbok sak cluthake kucing mending disiram air biasa, kan sekalian dimandikan. Lebih bermanfaat, kalau situ tega. Mumus kurusan karena ndak nafsu makan, katanya lagi. Mungkin Mus pengen sekali-kali diajak makan di mekdi atau starbaks, kode itu. Tapi tidak saya iyakan kode itu dengan membeli banyak ikan asin, buat stok, khusus dia. Soalnya selama ini dia makannya tempe, atau  pokoknya ngikut makanan sang empunya rumah. Mumus pancen nrimo ing pandum.

Sudah saya woro-worokan ke orang rumah bahwa persediaan ikan asin termasuk ikan asin yang telah saya goreng adalah untuk Mumus. Mumus harus makan banyak, harus kembali gendut, pokoknya harus sehat. Benar saja, dua hari ini dia makan lahap tiga kali sehari. Jika terus begini saya yakin dia akan kembali gemuk dalam waktu dua mingguan. Yakin usaha sampai!

Tapi ya namanya manusia, kalau ndak ngeyel ya kurang greget. Kalau adem ayem ya ndak marem. Saya dapati persediaan ikan asin yang sudah digoreng hanya tinggal sakuplik. Tidak mungkin kucing, karena sesopan-sopannya kucing dalam mencuri makanan, dia ndak akan menutup kembali tutup kotak bekal makanan dengan rapi. Kecuali kucing itu kucing animasi sih. Selidik punya selidik, ternyata orang rumah yang ngambil. Walah, padahal ikannya ndak saya cuci. Duh, manusia memang nggragas.

Ini baru level urusan rumah tangga perkara ikan asin, belum di level manusia (kekinian) dan kekuasaan di sono. Ketika kecil dulu—masa kecil memang selalu dirindukan oleh orang dewasa, saya diberi petuah "Mangan ra mangan sing penting kumpul". Sekarang saya ingin menemui orang yang memberi petuah tersebut, mengatakan bahwa petuah tersebut sudah diedit oleh zaman. Sekarang prinsipnya, "Kumpul ra kumpul sing penting mangan". Nafsu makan adalah salah satu nafsu yang berbahaya selain nafsu berdebat. Karena urusan perut seringkali mendesak, kadang suka beriringan dengan gengsi yang kian tinggi.

Awale saban dina mikir "sesok iso mangan opo ora" terus malih "sesok mangan opo". Wis tatag anggone mangan, ganti mikir "sesok mangan neng ndi". Mburi-mburiane "sesok mangan sopo".

Sehingga, pesan moral dari postingan ini adalah entah. Kamu ini, sitik-sitik pesan moral, sitik-sitik pesan moral, pesan moral kok sitik-sitik. Pokoke kendalikan nafsu, nafsu apapun itu.

0 komentar:

Posting Komentar