Jumat, 05 Februari 2016

Jualan


Zoya tampil dengan tagline "Cantik. Nyaman. Halal." menyatakan bahwa produk jilbabnya telah bersertifikat halal dari MUI. Belakangan MUI menyanggah telah memberi label itu. Terlepas benar atau tidak "halal" itu dikasih MUI atau bikinan sendiri, intinya tetap jualan. Maksud saya bukan MUI yang jualan label halal-haram dan sesat-tidak sesat, bukan, ndak berani saya bilang kayak gitu, nanti ditoyor pake hate-speech dan fatwa sesat lak yo klenger. Tapi, fenomena di era kapitalis begini yang menjadikan apapun sebagai barang jualan. Agama sekalipun. Zoya hanya satu di antara beribu lainnya, ada makanan kucing halal, bedak halal, dan lain-lain.

Agama paling sering digoreng, dipoles, dan dijadikan gincu dalam jualan. Kita yang sejak kecil sudah diiming-imingi surga biasa tergiur dengan begituan. Mengharapkan surga dengan memberhalakan simbol. Merasa sudah dapat tiket surga kalau sudah pakai yang syar'i-syar'i, yang halal-halal, yang beraroma Arab. Seolah agama hanya sebatas simbol tanpa tujuan. Surga pun dapat dibeli.



Agama dijadikan komoditas. Bagi perancang iklan yang pintar, mereka mengemas agama dengan suguhan iklan yang menarik, dan tentunya terasa lebih lezat bagi konsumen. Karena selain mutu produknya sendiri, juga disertai "rasa agama". Al-Qur'an dengan desain dan bahan kertas yang wah dimiliki bukan karena nilai keagamaannya. Tasbih mahal dan antik lebih sering digantung di mobil daripada digunakan secara fungsional untuk dzikir. Para calon hajjah membeli busana muslimah yang awuih semata dipakai untuk mengidentifikasi diri sebagai bagian "drama sosial" ke tanah suci daripada memenuhi rukun haji itu sendiri. Lalu jilbab syar'i, belum jilbab halal ini nanti, merknya Zoya, Mbak, biyuh, pasti mahal.  Agama dan ideologi iklan nampak begitu mesra berdampingan mengakomodasi para manusia kekinian untuk menjaga kesalehan ritusnya sambil memboroskan uang untuk konsumsi.

Akhirnya jualan agama ini justru berhasil menjadikan iklan sebagai agama baru. Karena orang mengonsumsi  bukan lagi sekadar untuk "bekal ibadah" tapi juga "gengsi dan perasaan wah". Lahir menus-menus yang lebih khusuk menjadi hamba "merk dagang" daripada hamba Tuhan. Dalam hal ini, agama harus muncul merumuskan bagaimana sebenarnya manusia agamis itu, yang nyatanya bertentangan dengan norma-norma konsumsi. Agama jangan seolah merasa rendah di depan gaya hidup, apa lagi ikut jualan. Agama bukanlah sekadar simbol, melainkan juga tindakan.

Bukan hanya agama, tapi juga kebudayaan, perempuan, nasionalisme, dan banyak lagi yang (di)bisa(kan) dijadikan barang jualan—nyawa kayaknya juga bisa. Budayawan yang menjual kebudayaan demi pundi-pundi dan popularitas. Iklan-iklan produk kosmetik, sabun, kopi, dan bahkan parfum laki-laki yang juga menjual perempuan. Dan yang sering kita tak sadari adalah orang-orang yang jualan nasionalisme. Melabeli diri sebagai "karya anak bangsa" agar jasa atau produknya dilirik banyak orang. Meminta kucuran dana pemerintah ratusan milyar demi "mengharumkan nama bangsa". Ayolah, ratusan milyar itu kalau buat ngasih makan orang-orang kere macam saya ya bisa menyejahterakan lho. Atau kayak calon pejabat yang selalu bilang, "Demi Indonesia, blablabla..." tapi kenyataannya "Demi perut saya." Saya jadi ingat sentilan seseorang yang saya lupa siapa, dia bilang, "Di zaman dimana rasa nasionalisme mengering, jualan nasionalisme adalah usaha yang menggiurkan."

Akhirnya semua bisa dijual sekaligus bisa dibeli, dan ini adalah tantangan moralitas bagi kita. Oh ya, ini saya lagi jualan moralitas dengan menulis seolah orang paling benar, siapa tahu ada yang mau ngendorse. Mayan buat beli tissue toilet halal..

0 komentar:

Posting Komentar