Sabtu, 12 Desember 2015

Renungan Siang Bolong

source: http://juliakristina.com
Menemani teman-teman yang mengerjakan tugas, saya menekuni Serat Gatholotjo. Kemarin siang matahari sedang cantik-cantiknya, sayangnya perpus dan ruang baca tempat saya biasa ngadem masih tutup karena petugasnya Jum'atan. Di lantai dua, para mahasiswa berseliweran dengan raut muka yang menyebalkan. Tidak ada yang tersenyum pada saya. Saya mengira hidup mereka sepertinya membosankan. Mengira. Bukan memastikan.

Di samping kanan hall, ada sekumpulan mahasiswa yang duduk lesehan. Mulai dari duduk bersila, nyender di dinding, selonjoran, dempet-dempetan, memangku laptop, juga duduk ala warung. Beberapa membicarakan tugas, beberapa lagi curhat sekaligus nggosip, sisanya pacaran. Di samping kiri hall, ada sekumpulan yang lain. Saya dan teman saya di bagian tengah. Suasana agak berisik, maka niat saya menyambung ke Bumi Manusia setelah merampungkan Gatholotjo pun tak terwujud. Sambil kipas-kipas dengan selebaran pemberian mbak-mbak tadi, saya sibuk meliarkan pandangan. Mengamati, sejeli-jelinya.

Orang-orang naik-turun tangga. Hasil pengamatan saya yang pertama adalah telah ada trend fashion muslimah terkini. Saya menyesal baru menyadari fenomena ini. Teman-teman pasti tahu gaya bagaimana yang saya maksud. Kerudung (biasanya berkilau) yang disampirkan ke pundak kanan kiri dengan bagian atas yang lancip sehingga rambut terlihat sedikitーkayak ibu-ibu pejabat.  Dipadu kaos dan rok sepan di atas mata kaki, serta sepatu sporty. Dan juga tas kecil yang diselempangkan ke depan, hmm saya kesulitan menjelaskan masalah tas ini, tidak terlalu paham. Oh, jangan lupakan gincu dan alisnya. Perkembangan fesyen memang terkadang sama seperti perubahan hati anak remaja, cepat dan fluktuatifーuntuk tidak menyebutnya labil.

Kemudian yang lebih menarik lagi adalah keangkuhan mahasiswa, termasuk saya sendiri. Asyik di ruangan ber-AC dan gedung yang melindungi dari panas, cukup sejuk. Seringkali membicarakan kaum-kaum akar rumput dan nasib rakyat pun juga di gedung ini. Gedung yang nyaman. Di luar kampus sana ada banyak orang berjualan, tidur di becak pinggir jalan, menjajakan koran, menyapu jalan, dan tentu kepanasan. Saya melihatnya seperti ironi. Sekumpulan orang mendiskusikan nasib orang lain seolah merasa cukup berjuang, sudah keren, sudah mampu membuat dedek-dedek terkagum-kagum. Jika saja masalah selesai hanya dengan diperbincangkan, tentu tahun ajaran baru nanti maba akan kesulitan mencari target dari tugas OSPEK membuat video sospro.

Sedang asyik memandang tiap raut muka dan penampilan mahasiswa, tiba-tiba dua orang perempuan mendatangi saya. Salah satu membawa selebaran berwarna biru muda. Sekelebat nampak tulisan "Awas!" dan "Mengancam!", sebenarnya saya sudah tahu mereka siapa. Karena sedang nganggur, saya iyakan permintaan mereka untuk diskusi. Ya tidak jauh-jauh dari selebarannya, mbak-mbak ingin menyadarkan saya betapa mengancamnya LGBT. LGBT lagi.

Saya menjelaskan pandangan saya tentang LGBT, dimana kaum homoseksual ini juga berhak hidup. Homoseksual bukanlah suatu kejahatan, bisa jadi mereka juga adalah korban. Mereka juga berhak disembuhkan, bukan malah dibuang. Mata saya masih mengamati lalu-lalang di tangga.

Lalu, seperti yang saya duga, salah satu mbak menjelaskan dengan menggebu-gebu bahwa LGBT itu laknat, pantas diasingkan di antah berantah, jika tidak kapok maka darahnya menjadi halal. Mengungkapkan data fantastis jumlah LGBT di Indonesia, bagaimana komunitas gay sudah merajalela, bahkan di kampus. Diakhiri istigfar dengan wajah prihatin.

Saya membenarkan posisi duduk, mengecek jam di ponsel. Masih banyak waktu sebelum kelas selanjutnya dimulai, saya pikir tak apalah menanggapi. Mengulangi perihal korban dan berhak hidup, saya mempertanyakan konsistensi mereka. Bagaimana jika saudara kita sendiri yang menjadi pelaku homoseksual, tega membunuh? Jawabnya pun mampu membuat terkejut,
"Hukum Islam itu adil, Dik. Jika seseorang sudah dihukum dengan menggunakan hukum Islam, maka dosanya dalam hal itu telah diampuni dan hilang. Tidak akan diproses lagi di akhirat. Maka kalau dihukum mati pun, justru kita telah membebaskan mereka dari dosa-dosa."

Insting slengekan saya yang cluthak sebenarnya ingin menimpali dengan jawaban, "Widih, enak ya kalau gitu. Jadi kalau saya berbuat super jahat ya tinggal minta dibunuh, beres, dosa hilang, masuk surga. Subhanallah.". Tapi tidak jadi saya ungkapkan, pokoknya harus sok elegan dan jaim. Citra itu koentji. Akhirnya saya menanyakan bagaimana cara eksekusinya. Katanya tentang pemberian hukuman mati itu tergantung kebijakan Sang Khalifah. Mau dijatuhin dari ketinggian, digantung, atau ditembak, ya terserah Khalifah. Ya, akhirnya menyentuh bagian ini juga: Khilafah. Hmm, sudah ku duga.

"Oh, jadi Khilafah ya solusinya? Mbak, tentang khilafah sering digembar-gemborkan ya kan. Tapi kok ndak pernah menjelaskan bagaimana sistem pemerintahannya, pemilihannya, ekonomi, hukum, pengaturan distribusi, penyatuan suara, penyaluran aspirasi, dan lain-lain. Kan jadinya memberi solusi yang tidak solutif." ucap saya sok-sokan.

"Adik ini rasa ingin tahunya tinggi. Boleh minta nomer hapenya? Kami ada kajian seminggu sekali yang di dalamnya akan membahas tuntas itu. Sikap adik yang kritis akan segera membimbing menuju kebenaran. Melalui kajian kami, Adik akan memahami hukum Islam, hingga tercerahkan. Bagaimana?"

Saya beringsut, melihat jam lagi, dan menata tas.

"Nggg... nganu, nggak deh, Mbak. Apa susahnya menjelaskan sedikit pada saya yang belum tercerahkan ini coba? Mosok harus ikut kajian?"

Saya digantung, tidak dijawab. Mbaknya pamit.

Sepeninggal mbak-mbaknya, teman saya tertawa dan mengatai saya kurang ajar. Dia bilang, "Mbake salah orang! Awakmu ki ngetes asline, yo kan?". Embuh lah. Saya agak mangkel karena tidak puas dengan jawaban mbaknya. Padahal sudah saya beri waktu. Sudahlah, lebih baik segera masuk kelas.

Jum'at kemarin adalah hari terakhir perkuliahan di semester ini. Semua berjalan begitu cepat. Satu semester pun tidak genap enam bulan. Adakah kita sudah mendapatkan sesuatu? Adakah kita sudah melakukan sesuatu selain dlosoran di kasur sambil nulis #prayforblabla?

0 komentar:

Posting Komentar