Sabtu, 12 Desember 2015

Kontribusi? Bah!

Pada bulan Desember begini, di kampus sedang musim pergantian kepengurusan dan kepemimpinan. Mulai dari BEM, UKM, BSO, HIMA, BEM Fakultas, juga dalam komunitas. Ndilalah tahun ini juga bebarengan dengan Pilkada serentak. Yah walaupun tidak turut dibarengi dengan pergantian status jutaan jomblo di bumi ini.

Di grup line heboh. Seperti biasa, saya hanya memandangi percakapan yang entah apa itu dengan selonjoran di kamar kos. Obrolan teman-teman di grup line adalah bacaan saya ketika sedang selo. Semoga tindakan saya ini tidak ilegal karena dilakukan dengan diam-diam. Jangan laporkan ke MKD.

Membaca tiap chat dengan mata setengah sadar, tiba-tiba saya terbelalak dengan tulisan seorang teman yang kira-kira intinya begini: "Ayo cus nyoblos! Jangan apatis! Kalau kedepannya buruk, jangan ngritik, salah sendiri tak berkontribusi!". Saya sempat lupa berkedip. Luar biasa sekali. Tidak berhak mengkritik jika golput. Sungguh... Ingin rasanya saya menulis, "Gundulmu! Mbok kiro aku golput ki tanpa alasan rasional ngono?". Menatap kamar kos yang sangat berantakan, keinginan itu saya urungkan. Kapal pecah ini agaknya lebih urgent dan merapikannya lebih menjadi prioritas.

Memang benar apa kata pepatah, "jangan gegabah bertindak ketika sedang dikuasai emosi". Maka saya menyesal pernah berniat menggundul-nggundulkan kawan saya. Kok ya ndak selo sekali. Tidak etis.

Saya mengatakan kemangkelan itu kepada seorang teman. Dia bilangーsecara eksplisit, "Coba pahami filsafat yang etika. Bisa jadi mereka benar." Woh, saya ndak terima, golput saya golput-ideologis dalam hal ini. Dalam pilkada, golput saya golput-sistemik. Golput saya punya landasan je.Yatapi, sengeyel apapun, tetap akhirnya saya membuka lagi lembar etika dan estetika.

Dalam etika dasar, argumen kawan saya bisa jadi muncul karena ada perdebatan etika. Di sini tentu saja memilih lebih baik dari pada golput. Lha memang etisnya jika kita menggunakan hak pilih kan? Dalam kebebasan eksistensial, bagaimanapun kita harus mengambil sikap, dan bertanggung jawab atas sikap dan tindakan kita. Sikap yang kita ambil secara bebas hanya memadai apabila sesuai dengan tanggung jawab objektif. Semakin berkembang kebebasan eksistensial manusia , semakin kuat pula pribadinya untuk bersedia bertanggung jawab.

Setiap sikap yang diambil tidak kosong, namun meniscayakan adanya tanggung jawab kita sebagai pelakunya. Kebebasan eksistensial yang bertanggungjawab menyatakan diri dalam pola moralitas yang otonom. Manusia bermoralitas otonom melakukan kewajiban dan tanggungjawabnya karena menyadari nilai dan makna serta perlunya kewajiban dan tanggung jawab itu.

Bisa jadi kawan saya mendengarkan suara hati tentang kewajiban dan tanggung jawab. Tentang apa yang sebaiknya dilakukan. Kesadaran moral akan pentingnya berkontribusi dalam pemilihan. Kontribusi dengan menggunakan hak pilih akan turut menentukan perbaikan kedepannya. Suara hati bukan hanya soal perasaan, namun juga kesadaran moral yang rasional.

Dalam suatu pemilihan, memanfaatkan hak pilih tentu lebih baik daripada menyia-nyiakannya. Satu suara bukan tidak mungkin akan berperan besar untuk perbaikan. Untuk hal ini memang bisa diiyakan, walaupun dalam etika terapan khusus harus dikaji lagi.

Tapi jika dengan golput kemudian manusia spesies saya disebut sebagai apatis tentu tidak pas. Apatis sendiri berarti acuh tak acuh dan tidak peduli. Lah, justru karena peduli, maka kami golput. Dalam pemilihan iniーsengaja saya rahasiakan pemilihan apa, maaf saja, tidak ada calon yang layak dipilih. Lebih tepatnya tidak ada pilihan. Jika memilih, akan dihadapkan memilih antara yang buruk atau lebih buruk. Tidak jauh berbeda dengan polah para elit, ya, sebatas berebut jabatan. And fame.

Lalu kalian yang dengan gagah menulis "Saya telah berkontribusi!" dengan tinta di tangan itu, berarti tidak apatis begitu? Bukan saya ad hominem ya, tapi seusai pemilihan, kalian merasa sudah selesai seutuhnya. Sibuk lagi dengan tugas dan absensi. Sibuk lagi mencari bribikan dan gengsi. Walah, Mas, Mbak, padahal seusai pemilihan itulah poin utamanya. Saatnya kita kritis dan bersikap tidak apatis.

Penalaran ad hominem terkadang juga tidak keliru, maka bolehlah sekali-kali saya menggunakannya. Banyak teman yang acuh tak acuh terhadap kebersihan gazebo dengan membuang sampah sembarangan. Sebagian orang yang sama kemudian bicara tentang keapatisan. Saya pikir tidak ada yang lebih lucu daripada ini selain sidang MKD lalu.

Jika para moralis pemilih punya suara hati, kami juga punya. Suara hati menyuruh untuk tidak memilih. Ini juga soal kesadaran dan tanggung jawab sosial. Mendiamkan keburukan? Tentu tidak. Golput belum tentu mendiamkan keburukan, malah bisa saja alasan tindakan itu ya karena tidak ingin ada keburukan merajalela. Yah walaupun saya tahu pasti yang jadi ya calon itu, sudah terbaca.

Tentang premis "Jika tidak memilih maka tidak selayaknya mengkritisi" itu kok wagu. Tidak memilih pun adalah hak. Dalam masyarakat demokrasi, hak untuk memberi kritik sudah melekat sejak kita menjadi bagian dari demokrasi itu. Entah menggunakan hak pilih atau tidak. Berkontribusi juga tidak sesempit itu. Masih banyak yang harus dilakukan, katanya agen perubahan to.

Jadi kalian sudah berkontribusi? Selamat kalau begitu. Saya juga tidak berharap akan banyak orang-orang yang sejenis dengan saya. Tentu TPS bakalan sesepi hatimu.

Hormat saya dari mahasiswa apatis.

0 komentar:

Posting Komentar