Senin, 24 Oktober 2016

Rekno dan Kalimat yang Belum Usai: Sebuah Telaah Tidak Penting



Setiap manusia itu unik, tentu saja. Kebetulan saya hidup di antara manusia-manusia, lalu berkawan dengan beberapa dari mereka. Ada yang namanya Rekno, salah satu dari sedikit orang yang beruntung telah saya ingat namanya. Kenal karena memang satu jurusan di kampus, seangkatan. Tapi saya baru agak benar-benar berteman pada awal semester tiga, tidak terlalu ingat mengapa dan kapan bermulanya. Mungkin ketika saya meminjam novel Saman miliknya. Tapi sepertinya tidak, karena saya hanya meminjam, mengembalikan, bilang terima kasih, dan sudah. Tidak ada hal yang membuat saya terikat secara emosional atau merasa berutang budi. Biasa saja, tidak mengesankan. Atau, mungkin ketika dia mulai sering komen di postingan beberapa media sosial saya dengan sok asik, padahal saya tidak merasa akrab dengannya. Waktu itu diri ini sedang pada fase ‘fuck-everyone-and-everything’, sedang angkuh-angkuhnya. Mungkin iya, bisa tidak, kurang bisa memastikan. Kemungkinan terbesar karena kami pernah merasa punya musuh yang sama di situasi menegangkan yang kami bikin bersama. Yah, semacam sok-sokan menjadi Edward Snowden, kami dan kawan lain mencoba menelanjangi superioritas senior di hadapan publik. Halah, tidak usah menganggapnya heroik atau progresif, biasa saja, namanya juga dinamika kehidupan mahasiswa. Ya begitulah, biar tidak mampus dilahap kebosanan rutinitas, kadang meletup-letup dikit tak apalah~

Kesan pertama yang saya patrikan di otak adalah: Rekno itu freak. Bagaimana tidak? Dia suka senyum-senyum aneh, cara matanya melihat orang juga penuh selidik yang menggelikan, sok imut, dan yang paling khas: baperan. Kau tahu baper kan? Bahasa anak muda kekinian, akronim dari bawa perasaan. Bahasa normalnya satu spesies dengan sensitif tapi bukan sensitif, cengeng tapi bukan cengeng. Konsep baper ini lebih enak didefinisikan sebagai suatu sikap (berlebihan) mengedepankan unsur perasaan sebagai respon atas tindakan yang seharusnya tidak perlu dirasai sebegitunya. Misalnya kamu menangis lalu mengadu pada semesta hanya karena follower instagram berkurang satu dan menganggap mantan followermu itu membencimu. Kamu paham? Saya sih tidak. 

Si Rekno ini semacam manusia yang belum selesai dicetak lalu tiba-tiba tergelincir konyol ke dunia ketika proses pembagian kewarasan. Jadi ya gini, agak-agak. Dia mungkin saja mengatakan sesuatu atau menuliskannya dengan selayaknya manusia lain. 

“Aku lapar.”

“Budaya lokal harus dilestarikan.”

“Puisi itu bagus.”

“Kamu sudah makan?”

“Buku-buku sastra klasik memang terlalu berat untuk dikaji oleh mahasiswa semester awal macam saya.”

“Teman-teman harusnya mengerti…”
dll. 

Nah, jangan pernah mengira kalimat-kalimat normalnya itu selesai. Jangan percaya dengan ‘titik’ darinya, dia punya banyak sekali ‘koma’ yang disimpan di lemari bawah kasurnya. Beberapa waktu mengenalnya, saya mulai memahami selera humor dan arah tiap katanya. Selalu ada yang belum tuntas, selalu ada yang ditertawakannya sendiri. Bisa saja begini kalimat lengkap sebenarnya:

“Aku lapar, lapar dan haus kasih sayang.”

“Budaya lokal harus dilestarikan, seperti cintamu padaku yang harus kukasih formalin supaya abadi selamanya. Eaaa..”

“Puisi itu bagus… Ah, jadi ingat Mz Bagus yang ituh.

“Kamu sudah makan? Aku belum makan lho, ngga ada yang ngingetin makan, ngga ada yang ngajak makan berdua. Syedih.”

“Buku-buku sastra klasik memang terlalu berat untuk dikaji oleh mahasiswa semester awal macam saya. Karena menengok masa lalu memanglah sangat berat, aku tidak kuat, apalagi harus mengkajinya. Kutakbisa, Mz.”

“Teman-teman harusnya mengerti, karena aku wanita ingin dimengerti. Uwuwuw~
dll.

Yeah, begitulah. Lucu dan menyebalkan sekaligus. Saya agak mulai ketularan juga sih. Memang enak dan asyik mengaitkan tiap hal dengan perasaan yang ditertawakan. Karena menjadi terlalu serius juga tidak menyenangkan-menyenangkan amat. Terlalu seriyus seringkali membuat kita lupa bahwa keseriyusan kita itu sangat lucu kalau ditelaah lagi. Bukan berarti cinta melulu, Rekno bahkan belum pernah pacaran, dan pernah jatuh cinta tapi dikecewakan sebelum sempat berteman. Wkwkwk, tragis betol.

Pernah suatu waktu dia iseng ikut seleksi projek sosial mengajar yang mirip Indonesia Mengajar tapi level kecamatan. Bukan apa-apa, Rekno hanya bosan dengan rutinitas dan gebetan yang itu-itu saja. Ndilalah, dia kok ya lolos seleksi tahap pertama yang kemudian dilanjut dengan seleksi wawancara. Dia menjawab tiap pertanyaan dengan sepenuh ketidaklengkapan-kalimat. Rekno tidak berbohong, dia hanya sedang menyampaikan (sebagian) kebenaran yang ingin mereka dengar, dan menyimpan sebagian yang lain. Gitu~

“Motivasi saya mengikuti program ini adalah untuk menyalurkan sedikit ilmu yang saya miliki, menambah relasi, dan mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat. (Dan mencari gebetan. Dan kabur dari rapat-rapat. Dan biar dibonceng.)”

“Memang saya kurang menguasai pelajaran eksakta, tapi saya bisa mengajar tentang Bahasa Indonesia, saya bisa baca puisi, monolog, dan menari. Anak-anak kecil tentu bosan kalau hanya diajari eksak. (Wuh, apalagi puisi cinta, aku bisa. Aku juga bisa membuat  masnyah jatuh cinta, jangan ragukan.)”

Tentu masih banyak lagi, tapi saya sudah bosan menuliskannya, kamu mosok ngga bosan sih bacanya? Pokoknya dia gitu lah ya. Mari bahas yang lain. 

Oh ya, saya benar-benar tidak menyarankan dia mengambil peminatan Filologi atau pindah program studi ke Ilmu Perpustakaan dan Kearsipan. Selain karena memang dia tidak mau mengambilnya, tapi juga karena saya lihat-lihat dia bukan perawat kenangan yang baik. Jadi, jangankan mengkaji naskah lama, menyadari tingkah konyolnya ketika berjumpa dengan cinta-matinya-yang-dia-puja saja dia kurang lihai. Apalagi jurusan Kearsipan. Jangan. Lha wong mengarsipkan chat Line saja dia ogah, dia sering end chat seenaknya. Rekno juga sebaiknya punya pacar yang sabar maqam tertinggi. Karena Rekno tidak bisa diburu-burui. Dia tipikal seniman yang terlalu menghayati apa yang dilakukan, entah terlalu sentimentil dan melankolis atau gimana, saya kurang ngeh. Makan, jalan, mandi, dll. pastilah lama. Menunggu Rekno selesai makan, kamu sebenarnya sudah bisa pulang kampung berkali-kali dan bisa menyelamatkan dunia.

Udah ah, lelah. Saya kasih tahu ya, walaupun kamu tidak harus tahu, tapi gapapa, saya cuma mau ngasih tahu: Pertemanan saya dengan Rekno berjalan menyenangkan dan baik-baik saja sampai pada suatu ketika kami saling tahu bahwa selera mie instan kami berbeda. Saya percaya Sarimi adalah mie instan terenak. Rekno bilang mie Sedaap Baso jauh lebih nikmat dibanding segala macam mie di dunia. Ini perbedaan yang sangat gawat. Menyangkut idealisme! Perseteruan bertambah sengit ketika kami saling tahu bahwa selera kami mengenai lelaki dan gebetan ilusi juga sama. Tidak bisa tidak, hanya satu kata, “Lawan!”. 

Dia bukan teman saya sekarang, mungkin musuh, mungkin juga sahabat.

Jika bertemu dengannya, sapalah lebih dulu. Dia sama sekali tidak pendiam. Palsu itu kalau dia pemalu dan pendiam. Dia lebih sering malu-maluin dan susah disuruh diam. Dia hanya kesulitan merangkai kalimat pertama dengan orang yang baru dikenalnya. Yah, kecuali kamu cakep dan menarique, dia bakal menerjang badai dan rintangan demi mengenalmu. Hahaha.

Tidak penting kan tulisan ini? Memang. Sudah saya ingatkan di bagian judul. Salah sendiri dilanjutkan. Hanya semacam dokumentasi. Tidak ada pesan moral. Tidak quote. Aku sayang kamu.
.


2 komentar: