Selasa, 11 Oktober 2016

Jurusan Madiun-Surabaya: Bukan Pledoi

sumber gambar: www.bookcasebasketcase.com

"Kuliah atau kerja, Mbak?"

"Kuliah, Pak."

"Widih... Jurusan apa?"

"Sastra Indonesia."

"Oh." lalu membuang muka, menatap pemandangan dari kaca jendela bus Sumber Kencono yang melaju dengan kecepatan secepat reaksi jamaah sumbu pendek menanggapi ucapan selamat natal.

Saya tidak terlalu ambil pusing dengan reaksi Bapak tersebut. Wis tau! Lha wong pernah ada yang lebih ekstrem bilang "Sastra Indonesia itu beneran jurusan kuliah? Kalau saya jurusan Madiun-Surabaya."

Kawan-kawan yang kuliah di jurusan Sastra Indonesia—selanjutnya akan saya sebut Sasindo, demi kesehatan jari saya— pasti tidak asing dengan pertanyaan maupun pernyataan bernada merendahkan. Sudah menjadi panganan pokok kedua setelah nama-nama sastrawan kanonik yang dijejalkan oleh para dosen. Ndak kagetan kalau ada yang bilang:

"Itu setelah lulus kerjanya apa?"

"Kenapa ambil Sastra? Kalau anak saya sih ngambil teknik kebidanan blablabla."

"Baca sama nulis doang?"

"Sastra itu belajar mendayu-dayu?"

"Oh, emang situ orang mana? Bahasa Indonesia kok dipelajari sampe kuliah, haha."

"Budi sama Ibu Budi apa kabar, Cuy? Masih idup?"


"Budi wis gedhe, saiki dadi berandalan, jere arepe ngobong omahmu," bentak saya, dalam batin.

Duh, Gusti, sampai kapan akan terus begini? Kami sudah cukup menderita dengan tugas merangkum buku bacaan dengan tulis tangan, yang setelah kami perjuangkan berdarah-darah dengan pulpen runcing, akhirnya hanya dilihat sekilas lalu diberi tanda tangan. Kami sudah kekenyangan dengan tugas membaca novel segedhe gaban berbahasa dewa lalu disuruh membuat resensi atau sinopsisnya. Kami sudah cukup mual dibanding-bandingkan dengan anak sastra lain semisal Sastra Inggris, Sastra Jepang, atau apalah. Katanya, "Mana ada les Bahasa Indonesia?". Kalau yang dipermasalahkan adalah mbukak kursus atau les, saya sarankan gugling, ada banyak.

Tapi, tidak mungkin saya membentak dan memaki cara berpikir orang-orang awam yang bertanya seperti itu. Senyumin sajah, nanti juga luluh. Toh, stigma yang terbentuk di masyarakat memang begitu. Universitas adalah nama lain Balai Latihan Kerja. Saintek punya prospek, Soshum ngawang-ngawang. Sastra Indonesia adalah jurusan pelengkap penderita karena tidak ada pilihan lain atau memang keterimanya cuma di situ. Kita tidak mungkin akan menanggapi dengan jawaban filosofis seputar sastra, tentang bagaimana peran sastra dalam peradaban. Terlalu berat dan tinggi, saya tidak sedang membawa kursi buat ancik-ancik.

Tapi, pada suatu hari yang awalnya cerah, saya sedang makan pecel di kantin. Lalu teman saya membisiki, sambil menunjuk ke arah meja di ujung. Katanya, itu mas-mas yang di sana, yang bajunya hitam, dia pernah apdet status kontroversial. Dalam status fesbuknya, dia menulis kurang lebih begini, "Prodi Sasindo lebih baik ditiadakan, tidak berguna! Tidak banyak bahkan sangat sedikit yang menjadi sastrawan!"

Sak kelebat cuaca jadi mendung, gelap, segelap baju masnyah. Pecel yang tadinya saya nikmati dengan perlahan dan penuh penghayatan akhirnya saya babat habis dalam sepersekian detik. Saya bisa memaklumi kalau masyarakat awam meremehkan. Lha ini, seorang kakak tingkat cum aktivis mahasiswa, je!

Ya, memang saya ini kerap menyangsikan aktivis mahasiswa zaman sekarang. Mereka paling hanya demo, berteriak "Lawan!" dan ngambek sama rektor, perkuliahan, kebijakan kampus, lahan parkir, dosen, dll. Atau kalau nggak, ya nyinyiri mahasiswa lain yang dianggap tidak progresif, militan, atau apalah itu. Ya pokoknya selingkaran itu lah yak.

Tapi yo ndak su'udzon kepada semua aktivis, saya tetap yakin ada orang-orang yang benar-benar berjuang demi kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan semua manusia. Saya yakin. Pasti ada. Dan, saya masih percaya bahwa aktivis-aktivis itu cerdas, baca banyak buku, suka diskusi, dan kritis.

Ya, sebenarnya kami saling menyangsikan, sih. Ah, mas ini bukan satu-satunya, banyak dosen, mahasiswa, maupun para intelektual juga menyangsikan prodi Sasindo. Garis besar alasan mereka adalah: Prodi Sastra Indonesia tidak menelurkan sastrawan.

Sangat disayangi, eh disayangkan. Masa orang terpelajar ndak paham, sih? Prodi Sasindo tidak sama dengan pabrik sastrawan. Lagipula, sastrawan bukanlah profesi, dia adalah predikat yang disematkan oleh orang sastra—bukan mahasiswa atau dosen sastra— berdasarkan karyanya yang bernilai sastra. Karya yang membacanya butuh refleksi mendalam. Tidak harus kuliah di Sasindo, karena sastra adalah seni memahami kehidupan. Mengutip Goenawan Mohamad, "Kesusastraan adalah hasil proses yang berjerih payah, dan tiap orang yang pernah menulis karya sastra tahu: ini bukan sekadar soal keterampilan teknik. Menulis menghasilkan sebuah prosa atau puisi yang terbaik dari diri kita adalah proses yang minta pengerahan batin."

Prodi Sasindo tidak melulu ngubeki sastra, ada beberapa minat studi khusus yang dapat dipilih oleh mahasiswa. Linguistik, Filologi, dan Sastra. Linguistik adalah ilmu bahasa yang mempelajari bentuk bahasa, makna bahasa, dan bahasa dalam konteks. Mahasiswa yang memilih linguistik biasanya diarahkan pada kompetensi sebagai ahli bahasa atau praktisi bahasa. Filologi fokes ke pengkajian naskah lama. Nah, sastra sendiri ada dua pembagian kompetensi. Mau yang khusus berkarya sastra atawa fokus ke pengajaran bahasa dan sastra. Begonoh.

Jadi ya ndak adil kalau sarjana sasindo diharuskan jadi sastrawan. Di kampus saya aja ya, itu yang paling banyak diambil ya linguistik. Sastra menduduki posisi kedua, kemudian disusul oleh filologi yang mahasiswanya bisa dihitung pake jari. Saya juga sebel sama filologi, nilai saya menyedihkan. Hanya mahasiswa bermental baja lapis stainless steel berkemampuan warbyasah yang berani mengambilnya. Biasanya anak pondokan, karena punya bekal bahasa Arab.

Terus, sekalipun mengambil sastra pada kompetensi khusus berkarya sastra, masih ada opsi untuk menjadi kritikus sastra atau penulis sastra. Sekali lagi, sastrawan bukan profesi. Sama tahu lah, kenapa itu Bang Andrea Hirata, Tere Liye, dll tetap disebut sebagai novelis dan bukan sastrawan. Padahal mereka menulis novel sudah seabrek, berseri-seri, sekianlogi, dan difilmkan juga. Karena gelar sastrawan iku abot, ora mung guyonan.

Kalau tentang para sarjana bekerja di bidang yang nyelewar jauh dari jurusannya, itu mah bukan monopoli prodi sasindo. Kuliah pertanian kerja di bank, kuliah teknik jadi pelawak. Banyak. Klise, kitorang kuliah nyari ilmu bukan nyari kerja. Haha, kita juga sama-sama korban bobroknya sistem pendidikan, kan?


Setiap jurusan perkuliahan pasti bertujuan untuk memecahkan masalah di masyarakat—dan mencetak buruh. Memang banyak masalah di jurusan ini. Mulai dari dosen dramaturgi yang ndak pernah nonton drama, sastrawan acuan yang itu-itu saja, plagiarisme, acc puisi, dll. Menghapuskan atau merendahkan prodi sasindo bukanlah solusi. Sama absurdnya ketika berpikir lebih baik IPDN dibubarkan. Cara barbar tidak akan menyelesaikan. Lha wong yang rusak struktur dan kultur, bukan gedungnya. Kalau gitu mah, runtuhin saja NKRI!

Orang tua sudah sering mempertanyakan masa depan kami yang kuliah di sasindo. Menyarankan segera kerja atau rabi. Itu sudah cukup mengganggu. Kamu sekalian jangan nambah-nambahi! Ngasih makan juga kagak. Apalagi ngechat ngingetin makan, engga pernah. Kamu jahap :(

0 komentar:

Posting Komentar