"Kuliah atau kerja, Mbak?"
"Kuliah, Pak."
"Widih... Jurusan apa?"
"Sastra Indonesia."
"Oh." lalu membuang muka, menatap pemandangan dari kaca jendela bus
Sumber Kencono yang melaju dengan kecepatan secepat reaksi jamaah sumbu pendek
menanggapi ucapan selamat natal.
Saya tidak terlalu ambil pusing dengan reaksi Bapak
tersebut. Wis tau! Lha wong pernah ada yang lebih ekstrem bilang "Sastra
Indonesia itu beneran jurusan kuliah? Kalau saya jurusan Madiun-Surabaya."
Kawan-kawan yang kuliah di jurusan Sastra
Indonesia—selanjutnya akan saya sebut Sasindo, demi kesehatan jari saya— pasti
tidak asing dengan pertanyaan maupun pernyataan bernada merendahkan. Sudah
menjadi panganan pokok kedua setelah nama-nama sastrawan kanonik yang
dijejalkan oleh para dosen. Ndak kagetan kalau ada yang bilang:
"Itu setelah lulus kerjanya apa?"
"Kenapa ambil Sastra? Kalau anak saya sih ngambil teknik kebidanan
blablabla."
"Baca sama nulis doang?"
"Sastra itu belajar mendayu-dayu?"
"Oh, emang situ orang mana? Bahasa Indonesia kok dipelajari sampe kuliah,
haha."
"Budi sama Ibu Budi apa kabar, Cuy? Masih idup?"
"Budi wis gedhe, saiki dadi berandalan, jere
arepe ngobong omahmu," bentak saya, dalam batin.
Duh, Gusti, sampai kapan akan terus begini? Kami
sudah cukup menderita dengan tugas merangkum buku bacaan dengan tulis tangan,
yang setelah kami perjuangkan berdarah-darah dengan pulpen runcing, akhirnya
hanya dilihat sekilas lalu diberi tanda tangan. Kami sudah kekenyangan dengan tugas
membaca novel segedhe gaban berbahasa dewa lalu disuruh membuat resensi atau
sinopsisnya. Kami sudah cukup mual dibanding-bandingkan dengan anak sastra lain
semisal Sastra Inggris, Sastra Jepang, atau apalah. Katanya, "Mana ada les
Bahasa Indonesia?". Kalau yang dipermasalahkan adalah mbukak kursus atau
les, saya sarankan gugling, ada banyak.
Tapi, tidak mungkin saya membentak dan memaki cara
berpikir orang-orang awam yang bertanya seperti itu. Senyumin sajah, nanti juga
luluh. Toh, stigma yang terbentuk di masyarakat memang begitu. Universitas
adalah nama lain Balai Latihan Kerja. Saintek punya prospek, Soshum
ngawang-ngawang. Sastra Indonesia adalah jurusan pelengkap penderita karena
tidak ada pilihan lain atau memang keterimanya cuma di situ. Kita tidak mungkin
akan menanggapi dengan jawaban filosofis seputar sastra, tentang bagaimana
peran sastra dalam peradaban. Terlalu berat dan tinggi, saya tidak sedang
membawa kursi buat ancik-ancik.
Tapi, pada suatu hari yang awalnya cerah, saya
sedang makan pecel di kantin. Lalu teman saya membisiki, sambil menunjuk ke
arah meja di ujung. Katanya, itu mas-mas yang di sana, yang bajunya hitam, dia
pernah apdet status kontroversial. Dalam status fesbuknya, dia menulis kurang
lebih begini, "Prodi Sasindo lebih baik ditiadakan, tidak berguna! Tidak
banyak bahkan sangat sedikit yang menjadi sastrawan!"
Sak kelebat cuaca jadi mendung, gelap, segelap baju
masnyah. Pecel yang tadinya saya nikmati dengan perlahan dan penuh penghayatan
akhirnya saya babat habis dalam sepersekian detik. Saya bisa memaklumi kalau
masyarakat awam meremehkan. Lha ini, seorang kakak tingkat cum aktivis
mahasiswa, je!
Ya, memang saya ini kerap menyangsikan aktivis
mahasiswa zaman sekarang. Mereka paling hanya demo, berteriak
"Lawan!" dan ngambek sama rektor, perkuliahan, kebijakan kampus,
lahan parkir, dosen, dll. Atau kalau nggak, ya nyinyiri mahasiswa lain yang
dianggap tidak progresif, militan, atau apalah itu. Ya pokoknya selingkaran itu lah yak.
Tapi yo ndak su'udzon kepada semua aktivis, saya
tetap yakin ada orang-orang yang benar-benar berjuang demi kebenaran, keadilan,
dan kesejahteraan semua manusia. Saya yakin. Pasti ada. Dan, saya masih percaya
bahwa aktivis-aktivis itu cerdas, baca banyak buku, suka diskusi, dan kritis.
Ya, sebenarnya kami saling menyangsikan, sih. Ah,
mas ini bukan satu-satunya, banyak dosen, mahasiswa, maupun para intelektual
juga menyangsikan prodi Sasindo. Garis besar alasan mereka adalah: Prodi Sastra
Indonesia tidak menelurkan sastrawan.
Sangat disayangi, eh disayangkan. Masa orang
terpelajar ndak paham, sih? Prodi Sasindo tidak sama dengan pabrik sastrawan.
Lagipula, sastrawan bukanlah profesi, dia adalah predikat yang disematkan oleh
orang sastra—bukan mahasiswa atau dosen sastra— berdasarkan karyanya yang
bernilai sastra. Karya yang membacanya butuh refleksi mendalam. Tidak harus
kuliah di Sasindo, karena sastra adalah seni memahami kehidupan. Mengutip
Goenawan Mohamad, "Kesusastraan adalah hasil proses yang berjerih payah,
dan tiap orang yang pernah menulis karya sastra tahu: ini bukan sekadar soal
keterampilan teknik. Menulis menghasilkan sebuah prosa atau puisi yang terbaik
dari diri kita adalah proses yang minta pengerahan batin."
Prodi Sasindo tidak melulu ngubeki sastra, ada
beberapa minat studi khusus yang dapat dipilih oleh mahasiswa. Linguistik,
Filologi, dan Sastra. Linguistik adalah ilmu bahasa yang mempelajari bentuk
bahasa, makna bahasa, dan bahasa dalam konteks. Mahasiswa yang memilih
linguistik biasanya diarahkan pada kompetensi sebagai ahli bahasa atau praktisi
bahasa. Filologi fokes ke pengkajian naskah lama. Nah, sastra sendiri ada dua
pembagian kompetensi. Mau yang khusus berkarya sastra atawa fokus ke pengajaran
bahasa dan sastra. Begonoh.
Jadi ya ndak adil kalau sarjana sasindo diharuskan
jadi sastrawan. Di kampus saya aja ya, itu yang paling banyak diambil ya
linguistik. Sastra menduduki posisi kedua, kemudian disusul oleh filologi yang
mahasiswanya bisa dihitung pake jari. Saya juga sebel sama filologi, nilai saya
menyedihkan. Hanya mahasiswa bermental baja lapis stainless steel berkemampuan
warbyasah yang berani mengambilnya. Biasanya anak pondokan, karena punya bekal
bahasa Arab.
Terus, sekalipun mengambil sastra pada kompetensi
khusus berkarya sastra, masih ada opsi untuk menjadi kritikus sastra atau
penulis sastra. Sekali lagi, sastrawan bukan profesi. Sama tahu lah, kenapa itu
Bang Andrea Hirata, Tere Liye, dll tetap disebut sebagai novelis dan bukan
sastrawan. Padahal mereka menulis novel sudah seabrek, berseri-seri, sekianlogi,
dan difilmkan juga. Karena gelar sastrawan iku abot, ora mung guyonan.
Kalau tentang para sarjana bekerja di bidang yang nyelewar jauh dari jurusannya, itu mah bukan monopoli prodi sasindo. Kuliah pertanian kerja di bank, kuliah teknik jadi pelawak. Banyak. Klise, kitorang kuliah nyari ilmu bukan nyari kerja. Haha, kita juga sama-sama korban bobroknya sistem pendidikan, kan?
Setiap jurusan perkuliahan pasti bertujuan untuk
memecahkan masalah di masyarakat—dan mencetak buruh. Memang banyak masalah di jurusan
ini. Mulai dari dosen dramaturgi yang ndak pernah nonton drama, sastrawan acuan
yang itu-itu saja, plagiarisme, acc puisi, dll. Menghapuskan atau merendahkan
prodi sasindo bukanlah solusi. Sama absurdnya ketika berpikir lebih baik IPDN
dibubarkan. Cara barbar tidak akan menyelesaikan. Lha wong yang rusak struktur
dan kultur, bukan gedungnya. Kalau gitu mah, runtuhin saja NKRI!
0 komentar:
Posting Komentar