Kamis, 24 Maret 2016

Keseimbangan



Kemarin sore sehabis belajar kelompok mengerjakan suatu tugas yang membosankan, saya ngloyor saja ikut kajian keagamaan yang diadakan oleh teman-teman ormawa SKI. Bukan apa-apa, saya cuma ingin menyeimbangkan pikiran, soalnya akhir-akhir ini saya cenderung liberal sekaligus kekiri-kirian, haha. Butuh grujukan rohani biar tercerahkan, heuheu.

Kajian dimulai pada pukul 15:00, tapi itu berdasarkan informasi di layar dan broadcast kawan-kawan. Kalau berdasarkan fakta, kajian dimulai lebih dari setengah empat sore. Makanya saya sempat makan dan jalan-jalan dulu untuk membunuh waktu.

Seorang teman mengajak dengan paksa untuk makan di kantin. Saya sudah menolak, karena uang saya ketinggalan di kost dan juga sudah ada makanan di kost, kan hemat. Dasar dia cerewet, saya gagal menolak ajakannya. Akhirnya ngikut, dia yang mbayari tapi nanti minta dibalikin—pret pret. Menyusuri kantin Pujasera yang sangat bersih itu, kami akhirnya menjatuhkan pilihan pada penjual yang jualannya murah. Apa perlu saya sebutkan juga apa lauk kami biar lebih detail? Ah, tidak usah ya, kalau kalian tahu bahwa saya makan capjay dan tahu goreng pun, tidak akan memberi manfaat bagi kemaslahatan umat kok.

Makanan dan minuman siap. Kami mengambil duduk yang ada di depan lapak penjualnya, dan juga tepat bersebelahan dengan mas-mas progresif cum aktivis yang sedang main kartu sambil ngerokok—atau ngerokok sambil main kartu. Eits, saya tidak sedang memberi stigma negatif lho ya. Saya bahkan tidak menganggap bahwa main kartu dan merokok adalah sesuatu yang negatif. Merokok ya merokok, tidak ada hubungannya dengan moralitas. Main kartu ya sama halnya main ular tangga atau main monopoli, hanya main-main. Kalau ada unsur taruhan di dalamnya, baru bolehlah dikatakan berjudi. Dan, ayolah, jujur saja, bukannya setiap saat kita pun berjudi? Kita mempertaruhkan banyal hal setiap detiknya. Ketika menyeberang di jalanan kota yang lebih kejam dari ibu tiri, kita mempertaruhkan waktu dan nyawa. Ketika kuliah, kita mempertaruhkan harga diri, masa depan, gengsi, dan uang. Bahkan dengan membaca tulisan saya, sekarang kamu sedang bertaruh dengan dirimu sendiri. Mempertaruhkan waktu berhargamu untuk hal yang entah akan sia-sia atau agak bermanfaat. Saya berani bertaruh bahwa kita semua adalah tukang judi. Dan penjara seharusnya penuh olehnya.

Selesai makan kami segera menuju lantai dua. Kajian keagamaan sudah dimulai, membahas tentang Alqur'an dan ketuhanan seingat saya. Entah itu tema utama atau hanya bagian dari materi, saya kurang tahu, pokoknya pas saya datang itu yang sedang dibahas.

Kajian berjalan begitu syahdu—maksudnya sepi, sunyi—karena peserta yang pasif (termasuk saya) dan pembicara yang cenderung menjadi pusat, seperti monolog satu arah. Ah, iya, saya yang bodoh, ini kan kajian dengan pembicara kunci, bukan diskusi yang remuk-redam oleh dialog antar peserta. Hasrat slengekan saya sebenarnya tidak nyaman dengan suasana begini, tapi hati yang lembut (wkwkwk) memenangkan pertengkaran batin. Saya tetap lanjut mendengarkan, dengan sering polah membenarkan posisi karena ndak jenak. Teman saya sungguh keterlaluan, masa saya diajak turun ke lantai satu. Di hall lantai 1 sedang ada lomba tarik tambang, dengan kebisingan yang kontras dengan kajian. Kedengarannya seru. Dunia oh dunia. Ada suatu waktu memang, di mana kita dihadapkan pada dua pilihan sulit. Kajian keagamaan yang beraroma surgawi atau serunya lomba tarik tambang yang begitu duniawi. Kalau saja ada opsi call a friend, saya mau telpon simbah saya yang di surga, biar diberi saran adiluhung. Haha. Akhirnya teman saya turun, dan saya tetap tinggal. Sesi tanya jawab berlangsung biasa saja, lebih seperti formalitas menghargai pembicara dan memburu waktu yang sudah mepet. Yang saya dapat dari kajian tersebut adalah snack, minuman, dan bahwa agama itu berangkat dari keyakinan, sedangkan filsafat berangkat dari ketidakyakinan.

Itu kesimpulan saya sendiri sih. Sebenarnya saya tidak mengikuti materi terlalu khusyuk,

saya sedang merencanakan siasat luar biasa. Begini, bukankah keren kalau aktivis-aktivis progresif tadi saling bertukar pandangan dengan peserta-peserta kajian yang alim? Biar imbang kanan-kiri. Soalnya kita tidak bisa terbang dengan hanya satu sayap, sayap kanan atau kiri. Dengan keduanya, baru bisa melesat. Wkwk,

bukan lagi promosi Sosialisme Religius, saya cuma pengin semuanya saling terbuka dan saling menghargai. Nah, ketika kedua kubu ini tidak bisa berjabat tangan, maka saya serahkan kepada teman-teman di hall lantai 1 untuk mengajak mereka main tarik tambang. Penyelesaian konflik dengan tarik tambang saya rasa lebih menarik. Haha.

Sekian omong kosong dari saya, mohon mangap dan terima gaji.

0 komentar:

Posting Komentar