Senin, 27 Maret 2017

Semacam Obrolan yang Melelahkan



“Bang…”

“Ya?”

“Besok hari Kamis.”

“Memang.”

“Hmm. Lusa Jumat.”

“Kamu kenapa?”

“Bunganya bagus.”

“Mana?”

“Turun mana, Bang?”

“Kita tidak sedang di bis atau kereta.”

“Iya. Jadi, apakah harimu menyenangkan?”

“Biasa.”

“Bosan?”

“Lumayan.”

“Mari bercerita.”

“Kemarin saya pergi menonton konser sendirian. Di kerumunan penonton, seorang perempuan tiba-tiba mendesak dari belakang lalu berdiri di sebelah saya..”

“Sebelah mana?”

“Samping kanan. Saya pengen kenalan, tapi tidak tahu harus bagaimana. Tiap kali yang begitu terjadi, saya merasa patah hati.”

“Lalu apa gunanya puisi-puisimu? Kamu bilang kamu juga humoris.”

“Itu beda soal. Saya yakin saya orang yang cukup menyenangkan dalam berteman, tapi awal perkenalan itu lebih berat. Takut dikira aneh.”

“Kamu kan memang aneh.”

“Iya. Menjadi aneh memang lebih mudah daripada dianggap aneh.”

“Bilang saja begini, “Langitnya mendung. Sepertinya perlu sedia payung. Menurutmu gimana?” atau, “Mbak, satu tambah satu kira-kira berapa?”. Semacam itu.”

“Kebetulan tidak sedang mendung, Mbaknya bakal sedih, kasihan. Saya berpikir untuk bilang, “Maaf, Mbak, saya punya firasat kita bakal ketemu lagi di lain waktu. Boleh saya tahu nama Mbak atau apalah agar lebih mudah menyapa nanti.”

“Itu bagus.”

“Oh, ya? Tapi dia sudah menyelinap ke barisan depan. Lagi-lagi saya kehilangan sesuatu yang bahkan tidak saya miliki.”

“You’re Beautiful. James Blunt.”

“Iya. Betapa sia-sianya lirik lagu itu. You’re beautiful… And I don’t know what to do… ‘Cause I’ll never be with you.”

“Tidak sia-sia juga. Indah dan pedih sekaligus kan bagus.”

“Nutrisarimu mulai dingin.”

“Mana enak kalau hangat?”

“Memang.”

“Hari ini saya sedang bahagia.”

“Siapa?”

“Saya. Rasanya seperti bersin yang melegakan setelah dua puluh tahun gagal bersin. Memaafkan! Saya habis memaafkan seseorang yang beberapa minggu lalu ingin saya penggal kepalanya dengan cutter duaribuan…”

“Tigaribulimaratus di tempatku.”

“Baiklah.”

“Kenapa tidak jadi kamu penggal?”

“Kenapa Qais sampai majnun karena Laila?”

“Cinta. Saya kurang yakin kalau dengan kasusmu.”

“Semacam itu, saya sendiri juga ragu, tapi sepertinya iya, saya sayang dia. Rasanya seperti balikan sama mantan kekasih yang sangat kita rindukan tapi kita gengsi mau nyapa duluan karena terlanjur bilang benci.”

“Jadi, bersin atau balikan?”

“Haha. Terlalu bahagia, suka lupa. Seperti membuang sampah yang dibawa kemana-mana.”

“Segala yang berlebihan itu tidak baik.”

“Sudah betul itu.”

“Hujan sudah turun, ayo pulang.”

“Katanya kita bakal pulang setelah menunggu hujan?”

“Menunggu hujan turun.”

“Saya kira menunggu reda.”

“Jadi pulang tidak?”

“Kopimu belum habis. Kembung?”

“Angin masuk.”

“Mengerti. Angin dan air. Saya bertaruh untuk tanah.”

“Terserah, kamu perlu belajar lagi. Pacar saya menunggu.”




*Maaf untuk yang ucapan-ucapannya saya ambil hehehe


0 komentar:

Posting Komentar