“Bang…”
“Ya?”
“Besok
hari Kamis.”
“Memang.”
“Hmm.
Lusa Jumat.”
“Kamu
kenapa?”
“Bunganya
bagus.”
“Mana?”
“Turun
mana, Bang?”
“Kita
tidak sedang di bis atau kereta.”
“Iya.
Jadi, apakah harimu menyenangkan?”
“Biasa.”
“Bosan?”
“Lumayan.”
“Mari
bercerita.”
“Kemarin
saya pergi menonton konser sendirian. Di kerumunan penonton, seorang perempuan
tiba-tiba mendesak dari belakang lalu berdiri di sebelah saya..”
“Sebelah
mana?”
“Samping
kanan. Saya pengen kenalan, tapi tidak tahu harus bagaimana. Tiap kali yang
begitu terjadi, saya merasa patah hati.”
“Lalu
apa gunanya puisi-puisimu? Kamu bilang kamu juga humoris.”
“Itu
beda soal. Saya yakin saya orang yang cukup menyenangkan dalam berteman, tapi
awal perkenalan itu lebih berat. Takut dikira aneh.”
“Kamu
kan memang aneh.”
“Iya.
Menjadi aneh memang lebih mudah daripada dianggap aneh.”
“Bilang
saja begini, “Langitnya mendung.
Sepertinya perlu sedia payung. Menurutmu gimana?” atau, “Mbak, satu tambah satu kira-kira berapa?”.
Semacam itu.”
“Kebetulan
tidak sedang mendung, Mbaknya bakal sedih, kasihan. Saya berpikir untuk bilang,
“Maaf, Mbak, saya punya firasat kita
bakal ketemu lagi di lain waktu. Boleh saya tahu nama Mbak atau apalah agar
lebih mudah menyapa nanti.”
“Itu
bagus.”
“Oh,
ya? Tapi dia sudah menyelinap ke barisan depan. Lagi-lagi saya kehilangan
sesuatu yang bahkan tidak saya miliki.”
“You’re
Beautiful. James Blunt.”
“Iya.
Betapa sia-sianya lirik lagu itu. You’re beautiful… And I don’t know what to
do… ‘Cause I’ll never be with you.”
“Tidak
sia-sia juga. Indah dan pedih sekaligus kan bagus.”
“Nutrisarimu
mulai dingin.”
“Mana
enak kalau hangat?”
“Memang.”
“Hari
ini saya sedang bahagia.”
“Siapa?”
“Saya.
Rasanya seperti bersin yang melegakan setelah dua puluh tahun gagal bersin.
Memaafkan! Saya habis memaafkan seseorang yang beberapa minggu lalu ingin saya
penggal kepalanya dengan cutter duaribuan…”
“Tigaribulimaratus
di tempatku.”
“Baiklah.”
“Kenapa
tidak jadi kamu penggal?”
“Kenapa
Qais sampai majnun karena Laila?”
“Cinta.
Saya kurang yakin kalau dengan kasusmu.”
“Semacam
itu, saya sendiri juga ragu, tapi sepertinya iya, saya sayang dia. Rasanya
seperti balikan sama mantan kekasih yang sangat kita rindukan tapi kita gengsi
mau nyapa duluan karena terlanjur bilang benci.”
“Jadi,
bersin atau balikan?”
“Haha.
Terlalu bahagia, suka lupa. Seperti membuang sampah yang dibawa kemana-mana.”
“Segala
yang berlebihan itu tidak baik.”
“Sudah
betul itu.”
“Hujan
sudah turun, ayo pulang.”
“Katanya
kita bakal pulang setelah menunggu hujan?”
“Menunggu
hujan turun.”
“Saya
kira menunggu reda.”
“Jadi
pulang tidak?”
“Kopimu
belum habis. Kembung?”
“Angin
masuk.”
“Mengerti.
Angin dan air. Saya bertaruh untuk tanah.”
“Terserah,
kamu perlu belajar lagi. Pacar saya menunggu.”
*Maaf untuk yang ucapan-ucapannya saya ambil hehehe
0 komentar:
Posting Komentar