Sabtu, 09 April 2016

Indonesia Bagian dari Diri Sonya


Beberapa hari lalu, netizenesia heboh lagi. Pada masa di mana kita bisa mengomentari kejadian di ujung dunia dengan hanya dlosoran di kamar kos, video seorang siswa SMA yang menolak ditilang bahkan membentak polisi pun langsung menjadi viral. Efek kejut di era internet memang mengagumkan, baru saja Zaskia Gotik, Panama Papers, sekarang Sonya Depari.

Sonya dan keenam temannya konvoi usai mengikuti UN (Ujian Nasional) di Medan, Rabu 6 April 2016 sore. Mereka naik mobil Honda Brio hitam melintas dengan kap  belakang terbuka ke atas. Mobil ini kemudian dihentikan oleh Polwan Ipda Perida Panjaitan. Mereka turun dan protes, mereka menilai banyak mobil lain yang melanggar aturan namun hanya mereka yang dihentikan.

"Itu ada mobil merah di depan, kenapa cuma kami yang dihentikan," protes mereka.

Polwan dan dua Polantas lain menyatakan akan menindak dan membawa mobil itu ke kantor Satlantas Polresta Medan. Sonya kemudian marah-marah dan memaki sang polwan.

"Oh oke, mau dibawa? Siap-siap kena sanksi turun jabatan ya. Aku juga punya beking," ucap siswi itu dengan nada tinggi.

Dia pun terus marah-marah dan menunjuk-tunjuk Polantas yang menghentikannya. Dia mengaku anak Brigjen Pol Arman Depari dan mengancam Ipda Perida Panjaitan.

"Oke Bu ya, aku nggak main-main ya Bu. Kutandai Ibu ya. Aku anak Arman Depari," ucapnya. Sementara itu, Ipda Perida tak banyak berkomentar.

"Iya, iya," katanya sambil meletakkan telunjuk di bibir.

Setelah ditelusuri dan ditanyakan ke Pak Arman Depari, ternyata Sonya bukanlah anaknya. Pak Arman memiliki tiga anak, dan semuanya laki-laki.

Video beredar, dan voila! Sonya dihujani makian, dilempari hujatan, dan jadi objek bully-an publik. Saya tidak serta merta menyalahkan mereka yang kemarin membully habis-habisan, siapapun yang menonton video itu pasti juga merasa marah. Tapi, ayolah, tidakkah kita sadar bahwa Sonya adalah kita? Lupakah ajaran guru SD bahwa ketika kita menunjuk orang lain, tiga jari lain mengarah pada diri kita sendiri? Dan, mengapa tidak coba mempertanyakan 'mengapa'?

Ada Indonesia dalam diri Sonya. Nepotisme sudah terlanjur membudaya di negara kita. Mungkin karena sejak awal kita menjunjung tinggi persaudaraan dan kekeluargaan, saya kira. Jujur saja, kita pasti pernah bersiasat atau bahkan pernah melakukan hal yang sama. Mengaku anak seorang petinggi agar tidak ditilang, padahal petinggi tersebut adalah ayah teman, saudara jauh, atau bahkan teman fesbuk. Pura-pura menelpon jendral atau petinggi lain, hendak melaporkan polisi yang menyegat, berharap mampu mengintimidasi. Menyiapkan 'serangan' jika ada operasi polisi, misal mencari nama petinggi atau siap-siap kongkalikong dengan teman untuk siap ditelpon. Lalu setelah itu tertawa terbahak-bahak di angkringan, sesumbar karena telah berhasil membodohi polisi, dan saling berbagi kisah 'mengelabui' polisi. Bukan hal baru tentunya, bahkan sudah menjadi kewajaran dan kebiasaan. Lalu membully Sonya? Ah, palsu kalian semua!

Sonya adalah satu dari masyarakat Indonesia. Masyarakat yang sudah kehilangan kepercayaan pada para elit, juga pada polisi. Masyarakat yang sudah kenyang dengan kebiadaban. Masyarakat yang setiap detiknya terbiasa dengan polah polisi yang 'nggolek ceperan', polisi yang bagi hasil, dan jika ingin jadi polisi harus mbayar berjut-jut sehingga wajar ketika sudah menjabat mereka berupaya agar minimal balik modal. Masih ingat dengan jawaban polos seorang siswa SD ketika dihadapkan pada soal "Apa tugas polisi?"? Ya, anak tersebut menulis, "Minta uang, jaga jalan, dan baris-berbaris". Anak-anak cenderung polos dan jujur. Mereka menyimpulkan sesuatu berdasarkan apa yang mereka lihat sehari-hari, tanpa ada kebencian dan ambisi pribadi. Murni. Jika anak SD saja sampai menyimpulkan begitu, tentu memang ada yang salah dengan polisi. Suatu pandangan muncul karena adanya realitas.

Karena martabat polisi sudah dikhianati sendiri oleh beberapa oknum, akhirnya masyarakat cenderung menyangsikan kinerja polisi. Kemarin-kemarin kita miris sekaligus menertawakan kekonyolan para oknum yang kerap berprinsip 'pokok piye carane kudu kenek tilang': motor ditilang karena lampu hanya menyala satu atau spakbor pendek atau karena lampu LED, mobil ditilang karena membawa barang, kakek supir taksi, orang nanya jalan yang malah kena tilang, dll. Lalu masyarakat akhirnya memandang rendah polisi, menganggap bahwa semua polisi sama saja. Jika jujur, mungkin hanya sedang shooting untuk serial 86! saja. Begitulah, tidak ada asap jika tidak ada api. Hilangnya respect masyarakat adalah akibat dari maraknya oknum polisi yang bertindak seenaknya.

Oknum polisi tidak jarang melakukan operasi ilegal. Mereka main cegat di pinggir jalan, di tikungan, dan bahkan di perkampungan. Tidak ada papan pemberitahuan operasi, terdiri dari beberapa orang, memberhentikan kendaraan secara random dengan berdiri di tengah jalan, tidak memiliki surat perintah, dan menawarkan: bayar denda di pengadilan atau titip denda di sini? Terlalu marak, hingga kita berinisiatif untuk mengelabui kenakalan oknum. Karena tindakan mereka ilegal, tentu mereka takut jika ketahuan oleh polisi lain atau atasannya. Maka, mengaku mengenal seorang polisi atau petinggi adalah cara tepat untuk mengintimidasi. Saking bobroknya kepercayaan terhadap kinerja polisi, pasti kita biasa mendengar "Kalau ada apa-apa, aku punya kenalan polisi blabla" atau "Nanti kalau ada cegatan, ngaku saja anaknya si ini, ini nomornya". Polisi sendiri yang memulai, maka harus siap menuai luka.

Sonya sedang sial. Dia salah satu dari kita yang tertangkap kamera. Lalu kita bersorak, merasa lebih baik dan paling bermoral. Sonya sial karena polisi yang memberhentikannya bukanlah oknum pemalak jalanan. Lalu Sonya menunjukkan bagaimana Indonesia. Indonesia yang dipenuhi orang-orang gampang kagetan, gampang gumunan, reaksioner. Mencela habis-habisan, tanpa menyadari bahwa yang dicela adalah bayangan diri sendiri. Mencela bayangan memang lebih aman bagi orang-orang yang takut melihat dirinya di cermin.

Selamat kepada media karena telah berhasil mendapatkan bahan untuk meningkatkan rating dan klik. Bermodalkan berita(?) yang menyerang sisi pribadi Sonya dengan keluar dari fokus peristiwa. Kalian seksis dan luar binasa.

Terakhir, saya turut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya ayah dari Sonya Depari. Semoga hidup beliau di kehidupan selanjutnya senantiasa dilimpahi kebahagiaan dari-Nya.

0 komentar:

Posting Komentar